PANGKALPINANG, PERKARANEWS.COM -Nama “Pangkalbalam” mungkin tak asing lagi di telinga warga Pangkalpinang. Namun, tahukah Anda bahwa di balik nama tersebut, tersimpan segudang kisah sejarah yang tak hanya menjadi saksi bisu jejak perjuangan bangsa, namun juga menyimpan potensi kekayaan alam yang terlupakan?
Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, mengungkapkan bahwa pada wilayah geografis Kampung Pangkalbalam Distrik Pangkalpinang, memang telah lama berdiri sebuah pelabuhan penting.
Bahkan, peta kuno het Eiland Banka 1819 dan de Rivier van Palembang 1821 yang dibuat oleh Phillip Franz von Siebold pada tahun 1832, sudah menunjukkan adanya pelabuhan di Qualla Sungai Merawang/Baturusa. Sebuah fakta yang membuktikan bahwa Pangkalbalam telah menjadi urat nadi perdagangan sejak dahulu kala.
Elvian menjelaskan, pelabuhan di Pangkalbalam memiliki peran krusial pada masa kekuasaan Kesultanan Palembang, Inggris, hingga Belanda. “Pelabuhan Pangkalbalam sangat penting bagi district Pangkal Penang karena berfungsi sebagai pangkalan atau pelabuhan pengumpul (feeder point),” tegasnya. Hal ini diperkuat dengan peta yang lebih muda, Resident Bangka en Onderh.Opgenomen door den Topografischen dienst in 1928-1929.
Peta ini bahkan menunjukkan keberadaan Duanekantoor di sisi Barat muara Sungai Pangkalpinang, yang terhubung dengan jalur trem ke gudang K.P.M. (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dan Smeltcentraat.
Jalur trem ini, lanjut Elvian, membentang dari Kampung Pangkalbalam hingga ke Kantoor v/d Tinwinning di Kampung Ampoei, menegaskan betapa strategisnya Pangkalbalam sebagai pusat distribusi dan perdagangan di era kolonial. Salah satu momen paling epik yang terukir dalam sejarah Pangkalbalam adalah kedatangan pesawat amfibi Catalina milik Belanda pada 5 Februari 1949.
“Pesawat ini membawa Bung Karno dan Haji Agus Salim dari pengasingan di Parapat (Danau Toba) untuk kemudian diasingkan ke Mentok, pasca Agresi Militer Belanda Kedua pada 19 Desember 1948,” ungkap Elvian.
Foto eksklusif dari pesawat amfibi Catalina yang mendarat di dekat pelabuhan Pangkalbalam, dengan Bung Karno dan Haji Agus Salim kemudian dibawa dengan perahu kecil menuju dermaga, menjadi bukti nyata betapa Pangkalbalam adalah saksi bisu perjuangan dan pengasingan para proklamator bangsa.
Namun, bukan hanya sejarah perjuangan yang menarik dari Pangkalbalam. Dato’ Akhmad Elvian juga mengupas tuntas asal-usul toponimi ini.
“Dalam dialek Hakka, Pangkalbalam disebut Conjau,” jelasnya.
Toponimi Pangkalbalam sendiri berasal dari kata generik ‘Pangkal’ yang berarti pangkalan, pekalen, atau pelabuhan.
Yang lebih menarik, kata spesifik ‘Balam’ merujuk pada pohon atau kayu Balam, yang di Bangka dikenal sebagai Kayu Suntai (Palaquium spp.).
“Pohon Balam ini menghasilkan getah Balam yang dikenal dengan sebutan getah perca,” imbuh Elvian.
Getah perca, di masa lalu, adalah komoditas bernilai tinggi yang digunakan dalam berbagai industri. Sebuah fakta yang menyiratkan potensi kekayaan alam yang mungkin saja masih tersembunyi di balik lanskap Pangkalbalam.
Penelusuran Dato’ Akhmad Elvian ini tak hanya memperkaya khazanah sejarah lokal, tetapi juga membuka mata kita akan pentingnya menjaga dan memahami setiap nama tempat. Sebab, di balik setiap toponimi, terhampar kisah, perjuangan, dan potensi yang tak ternilai harganya.(Yuko)