PANGKALPINANG, PERKARANEWS.COM– Di balik gemuruh Perang Bangka yang dipimpin Pahlawan Nasional Depati Amir (1848-1851), tersimpan kisah humanis yang menyentuh hati, sebuah sisi yang jarang terungkap. Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, Sejarawan dan Budayawan penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, berhasil menyingkap tabir mengapa sang Depati harus mengangkat senjata melawan tirani Belanda. Bukan semata-mata politik, melainkan karena keluarga!
Sebuah catatan penting, yang tersurat pada 7 Rabiulawal 1266 Hijriah atau bertepatan 22 Januari 1850, mengungkapkan perasaan Depati Amir kepada Kapitan Mayor Cina, Tan Kong Tian, di Mentok. Dalam pengakuannya, sang Pahlawan Bangka Belitung itu menjelaskan dengan pilu sebab-musabab dirinya berperang melawan Gubernur Hindia Belanda.
“Hari hari tiada terang menjadi gelap,” itulah ucapan Depati Amir yang penuh kepedihan, sebagaimana diungkapkan oleh Dato’ Akhmad Elvian. Kalimat ini bukan hanya sekadar metafora, melainkan jeritan hati seorang ayah dan anak yang terpisah paksa.
“kapan tiada pulang saya punya anak jadi perkara panjang, selagi ada saya punya jiwa, tanah gubernemen akan jadi binasa dan bukan saya punya mau.”ucapnya
Kalimat ini merujuk pada fakta menyakitkan anak angkatnya, Baidin, dan ibunya, Dakim, ditahan atau disandera secara keji oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sebuah strategi licik kolonial yang tak hanya ingin mematahkan perlawanan Depati Amir secara militer, tetapi juga menghancurkan semangatnya secara personal.
Kecintaan Depati Amir yang begitu mendalam kepada ibu dan anak angkatnya inilah yang menjadi salah satu faktor kunci, sekaligus kelemahan konsentrasi perjuangannya. Betapa beratnya beban seorang pemimpin yang harus bertempur di medan perang, sementara orang-orang terkasihnya berada dalam cengkeraman musuh.
Perang Bangka yang bergolak selama tiga tahun itu, tidak hanya diwarnai oleh taktik gerilya dan perlawanan gigih. Namun, juga oleh intrik, sandera, dan pengorbanan personal yang luar biasa.
Kisah yang diungkapkan oleh Dato’ Akhmad Elvian ini membuka mata kita bahwa di balik heroisme seorang pahlawan, ada sisi humanis yang rapuh, namun justru memperkuat karakter dan dedikasinya.
Pemahaman akan “Hari-hari Tiada Terang Menjadi Gelap” oleh Depati Amir ini, bukan hanya sekadar cerita lama. Ini adalah pengingat bahwa kemerdekaan seringkali dibayar dengan harga yang tak terhingga, termasuk pengorbanan keluarga yang tercinta.
Sebuah narasi yang layak dikenang, agar generasi kini dan mendatang tak lupa akan jerih payah para pahlawan yang tak hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan hati.(Yuko)