Pengacara Ronald Tannur Dituntut 14 Tahun Penjara, Kuasa Hukum: Tuntutan Tak Masuk Akal

JAKARTA,PERKARANEWS – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Lisa Rachmat pengacara Gregorius Ronald Tannur penjara selama 14 tahun, serta membayar denda sebesar Rp750 juta subsider enam bulan penjara. Lisa Rachmat menjalani sidang tuntutan atas perkara Kasus Suap Gratifikasi dan percobaan pemufakatan jahat bersama dengan Zarof Ricar dalam penanganan perkara Kasasi Ronal Tanur di MA. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (28/5/2025).

Andi Syarief usai persidangan kepada redaksi mengungkapkan bahwa banyak yang janggal antara tuntutan JPU dan fakta persidangan. Dalam persidangan etrungkap fakta bahwa perkara suap yang dituduhkan kepada Lisa Rahmat bukan karena ketangkap tangan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP, dengan alasan bahwa perkara tersebut telah terjadi beberapa bulan kemudian baru dilakukan penggeledahan, penangkapan dan penyitaan tanpa disertai dengan surat perintah penggeledahan, surat perintah penangkapan dan ijin penyitaaan dari pengadilan yang berwenang.

“Kalau bukan tertangkap tangan harus melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang disertai dengan adanya surat perintah penyelidikan dan penyidikan, surat perintah penangkapan, surat perintah penggeledahan dan ijin penyitaan dari pengadilan yang berwenang. Jika tidak didahului dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang sah, maka proses hukum tersebut dikatakan tidak sah” tegasnya.

Selanjutnya Andi juga menerangkan bahwa berdasarkan fakta persidangan, terungkap fakta bahwa perkara Lisa Rahmat tersebut diadili hanya berdasarkan bukti permulaan, yaitu Chat WA dan Catatan-Catatan yang bersumber dari barang bukti berupa catatan/buku dan henphone yang disita oleh Jaksa Penyidik dari Lisa Ramat.

Bacaan Lainnya

“Menurut Ahli bukti permulaan itu tidak boleh berdiri sendiri harus ada minimal dua alat bukti utama yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Apabila tidak ada alat bukti utama yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP yang mendukung bukti permulaan itu, maka proses hukum tersebut harus dihentikan dalam tahap penyelidikan dengan alasan tidak cukup bukti adanya tindak pidana didalam peristiwa hukum itu,” terangnya.

Sementara terkait dengan pemufakatan jahat bersama Zarof Ricar, Andi menilai dalam  fakta persidangan etrungkap bahwa permufakatan jahat itu harus memiliki kualitas yang sama antara para pihak yang bersepakat untuk melakukan suap yaitu penyuap dan pemberi suap, kwalitas yang sama yang dimaksud adalah salah satu pihak bermaksud memberi agar tujuannya tercapai, salah satu pihak yang menerima dengan cara menyalagunakan wewenangnya.

“Karena perkaranya adalah perkara tindak pidana korupsi suap, maka yang bisa menyalahgunakan wewenangnya adalah penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil, sebagai penerima suap berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor  yang tidak bisa berdiri sendiri sehingga harus dihubungkan dengan Pasal 5 atau Pasal 6 UU Tipikor yang berkaitan dengan unsur penyalagunaan wewenang dalam perkara suap,” ujarnya.

Andi juga melanjutkan, menurutnya sehubungan dalam perkara tersebut pihak-pihak yang bersepakat adalah Lisa Rahmat dan Zarof Ricar yang bukan Penyelenggara Negara (Pegawai Negeri Sipil). Maka menurut Andi, perbuatan yang dituduhkan kepada Lisa Rahmat tersebut tidak memenuhi unsur perbuatan pidana, sehingga Lisa tidak dapat dinyatakan bersalah dalam tindak pidana tersebut dan harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dijatuhi putusan bebas oleh hakim pengadilan.

“Seharusnya tuntutan hukuman itu didasarkan pada bukti hukum sebagai fakta persidangan. Atas dasar tersebut, kami dari tim hukum berharap majelis hakim yang mengadili perkara Lisa Rahmat ini dalam dapat memberikan putusan bebas atau putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan fakta persidangan,” tutupnya.(Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *