JAKARTA,PERKARANEWS – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menghadirkan 3 saksi ahli dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat eks pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, Lisa Rachmat pengacara Ronald Tannur dan Meyrizka ibu dari Ronald Tannur. Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat menyuap Hakim Agung Soesilo yang memimpin majelis kasasi atas perkara Gregorius Ronald Tannur. Kasasi diajukan JPU yang keberatan atas vonis bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terhadap Gregorius Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti. Zarof diduga menerima uang Rp 5 miliar dari Lisa Rachmat pengacara Ronald Tannur. Suap tersebut bertujuan untuk mengkondisikan persidangan menguatkan putusan PN Surabaya.
Para saksi yang dihadirkan JPU yaitu Prof. DR. Hibnu Nugroho (ahli pidana), Irwan Haryanto, S. Sp (ahli digital forensik) dan Prof. Dr Agus Surono. Saksi ahli Hibnu Nugroho menjelaskan unsur pemufakatan jahat dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi. Hibnu diminta JPU menerangkan pandangan terkait penerapan Pasal 15 Undang-Undang Tipikor yang mengatur mengenai percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat.
“Mufakat itu ada kehendak dan tujuan yang sama tentang perbuatan yang dilakukan. Pemufakatan jahat merupakan delik formal, yakni tindak pidana yang dianggap selesai sejak adanya kesepakatan bersama untuk melakukan kejahatan, tanpa perlu menunggu tindakannya terealisasi,” terang Hibnu di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (05/05/2025).
Andi Syarif selaku tim Kuasa Hukum terdakwa Lisa Rachmat, usai persidangan menjelaskan kepada awak media, perihal pertanyaan yang sempat ditanyakan kepada saksi ahli terkait kualitas alat bukti dan bagaimana cara menentukan barang bukti hasil kejahatan. Andi mengilustrasikan bagaimana saksi bisa menjelaskan barang bukti hasil tindak pidana.
“Ada uang nih, bukan tertangkap tangan diambil di rumahnya, terus ini dijadikan barang bukti bahwa ini adalah hasil kejahatan atau alat yang dipergunakan suatu tindak pidana, nah bagaimana membuktikan kualitas alat buktinya itu?,” tanya Andi.
Saksi ahli Ahli Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho dalam persidangan menjawab bahwa barang bukti harus mempunyai korelasi dan pentingnya alat bukti dihadirkan untuk menunjukkan korelasinya dengan tindak pidana kejahatan, serta meyakinkan hakim bahwa alat bukti ada korelasinya.
“barang bukti tersebut harus ada korelasi. Korelasi itulah yang menjadi alat bukti. Bukti tidak berdiri sendiri, harus ada korelasinya,” jelas Hibnu.
Selanjutnya Andi mengatakan bahwa saksi ahli tidak dapat menjelaskan bagaimana menentukan barang bukti yang dipergunakan oleh pelaku untuk melakukan suatu tindak pidana.
“Saksi ahli tidak dapat menjawab yang bisa menjelaskan posisi barang bukti itu, bahwa benar barang bukti dipergunakan oleh pelaku adalah bukti untuk melakukan suatu tindak pidana. Nah ini tidak bisa dijawab oleh ahli,” pungkas Andi.(Yuko)