JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025). Sidang yang teregister dengan nomor 69/Pidsus-TPK/2025/PN JKT.PST ini menghadirkan tiga terdakwa: Jimmy Masrin selaku pemilik PT Petro Energy, Newin Nugroho (Direktur Utama PT Petro Energy), dan Susy Mira Dewi (Direktur Keuangan PT Petro Energy).
Dalam persidangan tersebut, dihadirkan Prof. Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) sekaligus ahli hukum keuangan publik, untuk memberikan keterangan terkait aspek hukum dan status kekayaan LPEI.
Menjawab pertanyaan tim penasihat hukum, Prof. Dian menjelaskan bahwa lembaga seperti LPEI memiliki status badan hukum publik dengan kekayaan yang dipisahkan (separated capital).
“Ketika negara menanamkan modal pada suatu badan hukum seperti LPEI, maka kekayaan itu telah menjadi kekayaan badan hukum, bukan lagi bagian langsung dari keuangan negara,” ujar Prof. Dian di hadapan majelis hakim.
Ia mengutip dasar hukum Pasal 1 angka 21 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa kekayaan yang berasal dari penyertaan modal negara berubah status menjadi milik badan hukum yang menerima.
“Kalau terjadi kerugian, maka kerugian tersebut adalah kerugian badan hukum atau korporasi, bukan kerugian negara secara langsung,” tambahnya.
Prof. Dian juga menegaskan bahwa kas negara hanya mencakup uang yang masih berada di bawah penguasaan Menteri Keuangan, bukan dana yang sudah dialihkan sebagai modal badan hukum.
“Setelah penyertaan modal dilakukan melalui APBN, uang tersebut keluar dari kas negara dan menjadi aset lembaga penerima modal,” jelasnya.
Menjawab pertanyaan terkait dugaan kerugian negara, Prof. Dian menegaskan bahwa dalam konteks hukum keuangan modern, kerugian bisnis tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai kerugian negara.
“Kerugian akibat kredit macet adalah kerugian lembaga, bukan kerugian negara, kecuali terbukti ada penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penetapan adanya kerugian negara harus didasarkan pada hasil audit resmi oleh lembaga yang berwenang, seperti BPK atau BPKP.
“Sebelum ada hasil audit yang pasti dan menyatakan kerugian nyata, belum bisa dikatakan ada kerugian negara,” tegasnya.
Dalam sesi berikutnya, Prof. Dian juga menjawab soal hubungan hukum antara LPEI dan debitur.
Menurutnya, hubungan tersebut bersifat keperdataan murni, karena lahir dari perjanjian pinjam-meminjam berdasarkan KUH Perdata dan KUHD.
“Jika terjadi wanprestasi, maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme perdata, bukan pidana,” kata ahli.
Sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyoroti adanya potensi penyimpangan dalam pemberian fasilitas kredit oleh LPEI yang dianggap menyalahi ketentuan tata kelola keuangan negara.
Namun Prof. Dian menanggapi bahwa tidak setiap penyimpangan otomatis merupakan perbuatan melawan hukum.
“Dalam hukum administrasi, harus dilihat konteks, dasar kewenangan, dan akibat hukumnya. Tidak bisa langsung dikategorikan sebagai tindak pidana,” jelasnya menjawab pertanyaan JPU.
Usai persidangan Penasihat hukum terdakwa Jimmy Masrin, Soesilo Aribowo, menegaskan bahwa kekayaan LPEI yang berasal dari penyertaan modal negara bukan lagi bagian dari harta kekayaan negara setelah menjadi kekayaan LPEI.
“Sesuai Pasal 7 dan 8, yang bunyinya juga di Pasal 19, kalau dibaca pasal di atasnya yaitu Pasal 11 ayat (2), di situ dikatakan bahwa aset LPEI setelah masuk menjadi transformasi dipisahkan dari harta kekayaan negara, artinya menjadi kekayaan khusus LPEI,” ujar Soesilo kepada redaksi usai persidangan.
Ia menilai perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh BPKP dan penuntut umum terlalu sempit karena hanya menyoroti periode 2015–2019.
“Saya mengukur, kerugian negaranya itu di mana? Karena BPKP hanya melihat kejadian 2015–2019 saja, tidak lihat belakangnya secara holistik,” ucapnya.
Lebih lanjut, Soesilo menegaskan bahwa jika kewajiban pembayaran debitur kepada LPEI masih berlangsung, maka tidak dapat serta-merta dikatakan menimbulkan kerugian negara.
Dalam kesimpulannya, Prof. Dian Puji Nugraha Simatupang mengingatkan agar penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam kasus lembaga keuangan negara seperti LPEI dilakukan secara hati-hati.
“Penerapan UU Tipikor harus mempertimbangkan unsur niat jahat (mens rea) dan posisi pejabat negara. Jika tidak ada penyalahgunaan kewenangan, maka ranahnya tetap keperdataan, bukan pidana,” pungkasnya. (Yuko)












