Dato’ Akhmad Elvian, DPMP)*
PANGKALPINANG,PERKARANEWS.COM – Pulau Bangka, sebuah permata di gugusan kepulauan Indonesia, tak hanya tersohor dengan kekayaan timahnya. Sejarah mencatat, pulau ini pernah menjadi lumbung berbagai komoditas bernilai tinggi seperti lada, gambir, rotan, damar, gaharu, madu, bahkan kayu wangi jenis Gonstylus Bancanus yang laku keras di Persia, melebihi harga gaharu sekelas Aqualiria. Namun, di balik gemerlap kekayaan itu, terukir kisah kelam tentang pemusnahan massal tanaman gambir, sebuah tragedi yang erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan dan eksploitasi.
Sejarawan dan Budayawan penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, mengungkapkan fakta menarik. Pada masa Sultan Abdurrahman (1659-1706), penduduk Pulau Bangka diwajibkan menanam lada dan gambir. Gambir, dengan segala potensinya, menjadi salah satu andalan ekonomi Kesultanan Palembang yang berkuasa atas Bangka kala itu.
Namun, di era Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), cengkeraman kekuasaannya atas Pulau Bangka mulai terancam. Rivalitas keluarga tak terhindarkan. Kakaknya, Sultan Anom Alimuddin, membangun benteng kekuasaan di Kubak (Stocade of Koba) antara tahun 1722-1732. Tak hanya itu, putranya, Raden Klip, juga mendirikan benteng di Pakuk (Paku), dan sekutunya, Arung Mapala, bangsawan Makassar, membangun benteng di puncak karang tertinggi di Tanjung Ular Mentok.
Catatan Andaya menggambarkan betapa gentingnya situasi saat itu: “Two-thirds of Bangka was under the control of either Arung Mappala or Sultan Anom.” Dua pertiga Pulau Bangka berada di bawah kendali rival-rival Sultan Mahmud Badaruddin I.
Guna merebut kembali kendali, Sultan Mahmud Badaruddin I meminta bantuan VOC. Pada tahun 1731 Masehi, dengan mengerahkan 5.000 pasukan dan 130 kapal bantuan VOC yang dipimpin Abraham Patras, Arung Mappala berhasil diusir dari Tanjung Ular dan melarikan diri ke Banjarmasin.
Pasukan Abraham Patras kemudian melanjutkan perjalanan darat, menyerang benteng Raden Klip di Paku, memaksa Raden Klip melarikan diri ke Pulau Madura.
Dari Paku dan Bangkakota, pasukan VOC di bawah pimpinan Abraham Patras bergerak menyerang Sultan Anom di Koba. Sepanjang perjalanan, benteng-benteng Sultan Anom dihancurkan.
Puncaknya, pada Agustus 1731, Sultan Anom bersama 500 pengikutnya berhasil dihalau dari Koba dan melarikan diri ke Pulau Belitung. Pada tahun 1735, Sultan Anom Alimuddin sempat kembali menyerang Palembang, namun ia ditangkap dan akhirnya dibunuh.
Tanpa bantuan VOC yang dikomandani Abraham Patras, Sultan Mahmud Badaruddin I bisa saja kehilangan Pulau Bangka beserta seluruh kekayaan timah, lada, dan gambirnya. Namun, bantuan dari VOC tidak datang secara cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar.
Syaratnya, Sultan Mahmud Badaruddin I harus menanggung seluruh biaya perang. Dan yang paling menyakitkan, sultan diwajibkan untuk “memusnahkan” semua tanaman gambir yang ada di Pulau Bangka.
Sebuah kebijakan yang secara terang-terangan menunjukkan prioritas VOC untuk mengamankan sumber daya timah, yang saat itu menjadi komoditas primadona.
Akhirnya, Sultan Palembang Mahmud Badaruddin I dan VOC hanya berfokus untuk mengeksploitasi timah di Pulau Bangka.
Gambir, yang sebelumnya menjadi salah satu penyokong ekonomi, lenyap dari bumi Bangka, terkubur di bawah bayang-bayang kejayaan timah dan intrik kekuasaan. Sebuah pengorbanan besar demi mempertahankan kendali, namun sekaligus kehilangan potensi ekonomi yang tak kalah berharga.(Yuko)