JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat kembali menggelar persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Isargas/IAE, Kamis (4/12/2025). Agenda sidang kali ini menghadirkan dua saksi ahli, yakni Anas Puji Istanto, Deputi Bidang Peraturan Perundang-undangan BUMN, serta Dr. Fully Handayani, ahli hukum perjanjian dan perseroan terbatas.
Perkara yang terregistrasi dengan nomor 86/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst itu menyeret dua terdakwa, yaitu Iswan Ibrahim, Komisaris IAE periode 2006–2023, serta Danny Praditya, Direktur Komersial PGN periode 2016–2019. Keduanya didakwa terkait dugaan penyimpangan pembayaran uang muka atau advance payment senilai USD 15 juta.
Dalam keterangannya, Anas memberikan penjelasan mendalam terkait struktur keputusan direksi, prinsip kehati-hatian, hingga tanggung jawab individual dalam korporasi BUMN. Ia menegaskan bahwa seluruh keputusan bisnis berada pada mekanisme kolektif kolegial.
“Direksi itu bekerja secara kolektif kolegial. Setiap anggota direksi punya tugas dan peran masing-masing, sehingga keputusan tidak bisa dibebankan kepada satu orang kecuali terbukti hanya dia yang melakukan tindakan tersebut.” jelasnya.
Anas memaparkan bahwa setiap keputusan strategis PGN selalu melalui proses kajian yang melibatkan lintas direktorat.
“Kajian itu biasanya ditampilkan dalam tiga kali rapat direksi. Semua sektor lintas unit menyiapkan paparan, dan jika dianggap penting, direksi melakukan koordinasi dengan regulator.” paparnya.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan informasi yang diketahuinya, tidak ada regulator yang menyatakan kerja sama PGN–Isargas tidak bisa dilaksanakan.
“Tidak ada satu pun koordinasi yang menyatakan kejadian ini tidak dapat dilaksanakan. Laporannya menyebut hanya butuh penyempurnaan administratif.” terangnya.
Saksi ahli juga menyoroti pentingnya jaminan dalam transaksi yang berisiko.
“Dalam prinsip kehati-hatian, jaminan itu harus sudah ada sebelum kontrak. Itu bagian dari kewajaran bisnis.” ungkapnya.
Ketika ditanya apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi hanya karena menandatangani perjanjian, Anas menegaskan perlu ada bukti pelanggaran SOP.
“Hanya bisa dibebankan kepada satu orang bila dapat dibuktikan bahwa keputusan itu hanya ada pada dia.” jelasnya.
“Selama tidak ada yang membuktikan sebaliknya, laporan keuangan itu cukup dan dianggap benar.” tambahnya.
Hakim Anggota Sunoto turut memberikan sejumlah pertanyaan teknis kepada ahli Anas, termasuk mekanisme transaksi, bukti fisik, hingga unsur kerugian negara.
Tentang prosedur transaksi, ia menegaskan bahwa semua tindakan harus mengikuti mekanisme formal. Ia menekankan setiap transaksi harus memiliki bukti fisik dan dasar administrasi.
“Yang harus dipastikan adalah uang yang keluar, harus dipastikan juga bahwa barang itu ada.” jelasnya.
Soal kerugian negara, Anas menegaskan bahwa belum tampak hubungan kausalitas dalam kasus ini.
“Saat ini tidak bisa dibuktikan bahwa ada hubungan kausalitas.” tegasnya.
Terkait unsur korupsi, ia menyebut bahwa harus ada tiga elemen penting:
“Ada kelalaian, ada kesalahan, kemudian ada pelanggaran hukum.” terangnya.
Penasehat hukum terdakwa Danny Praditya, FX L. Michael Shah, usai persidangan yang ditemui redaksi, menilai kedua ahli justru mendukung bahwa keputusan direksi PGN dilakukan sesuai aturan hukum dan prinsip fiduciary duty. Ia mengutip pernyataan ahli Anas mengenai empat pilar fiduciary duty:

“Fiduciary duty itu seperti rel kereta, rambu-rambu supaya direksi dalam mengambil keputusan bisnis harus mematuhi empat hal yang tadi disampaikan.” katanya.
Michael menegaskan bahwa direksi PGN telah melaksanakan proses kehati-hatian secara menyeluruh.
“Bentuk dari kehati-hatian direksi BUMN itu, dia membentuk tim koordinasi lintas divisi, lintas direktorat, sebelum mengambil keputusan dan berkonsultasi dengan regulator, tidak ada satu pun masukan bahwa perjanjian itu dilarang.” ungkapnya.
Terkait substansi perjanjian PGN–Isargas yang disebut JPU sebagai advance payment, Michael mengutip keterangan ahli Fully Handayani, bahwa perjanjian tersebut sah dan mengikat.
“Perjanjian itu diperlakukan sebagai undang-undang bagi para pihak, interpretasi di luar apa yang sudah dinyatakan para pihak dilarang.” jelasnya.
Soal dugaan perjanjian “bohong-bohongan”, Michael menegaskan fakta-fakta lapangan justru membantahnya.
“Kalau bohong-bohongan, tapi gas mengalir, infrastruktur dibikin, PGN sudah menerima gas, negara sudah menerima pajaknya, apa lagi yang diragukan?” tegas Michael.
Lebih lanjut Michael menegaskan sistem tanggung jawab direksi.
“Ini bukan hanya pada Pak Danny, ini kolektif-kolegial. Tanggung jawabnya secara tanggung-renteng,” pungkasnya. (AR)












