Emas yang Terlahir dari Luka: Ketika Penderitaan Pohon Gaharu Bertransformasi Menjadi Emas Hitam di Meja Para Sultan

Nama : Zul Akbar

Prodi : Konservasi Sumber Daya Alam

Asal kampus : Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

Dosen Pengampu MK Dendrologi: Dr. Sulvi Purwayantie, S.TP., MP.

BANGKA, PERKARANEWS.COM – Dalam peta komoditas global, terdapat sebuah anomali yang menentang seluruh logika ekonomi modern: Gaharu (Aquilaria malaccensis) di Kepulauan Bangka Belitung. Bangka Tengah merupakan salah satu wilayah sebaran utama bagi jenis pohon gaharu berkualitas tinggi, khususnya Aquilaria malaccensis atau biasa di kenal dengan nama lokal kayu Gaharu Mengkaras Putih. Jika emas dinilai dari kemurniannya dan berlian dari kejernihannya, maka Gaharu justru dinilai dari seberapa besar tingkat penderitaan biologis yang dialami oleh pohonnya. Fenomena ini didukung secara ilmiah oleh Scientific Reports (Nature) yang menyatakan bahwa pembentukan gaharu merupakan respons metabolik sekunder terhadap stres biotik. Pohon Gaharu yang tumbuh sehat secara komersial “tidak berharga”. Sebaliknya, pohon yang sekarat akibat infeksi jamur justru bertransformasi menjadi aset dengan harga per gram yang mampu melampaui logam mulia.

 

Proses terbentuknya gaharu adalah sebuah drama pertahanan diri yang mempesona sekaligus melankolis. Ketika pohon mengalami luka fisik, luka tersebut menjadi gerbang masuk bagi spora jamur Fusarium. Pada sebuah jurnal IUT (2022) menjelaskan bahwa alih-alih menyerah pada pembusukan, pohon ini melakukan perlawanan heroik dengan memproduksi resin fitoaleksin—senyawa seskuiterpenoid kental dan aromatik—untuk mengisolasi infeksi. Selama puluhan tahun, “perang” sunyi ini menyebabkan serat kayu berubah menjadi gubal hitam yang pekat. Secara profesional, kita tidak sedang membeli kayu; kita sedang membeli rekaman sejarah perjuangan hidup sebuah pohon yang membeku dalam bentuk resin.

 

Pasar gaharu (Oud) di pusat aristokrasi dunia bertahan pada eksklusivitas karena alasan kimiawi yang unik. Sebuah penelitian yang telah menunjukkan bahwa profil kimia gaharu memiliki ratusan komponen volatil dengan “sidik jari” aroma multidimensi yang mustahil direplikasi secara sintetis oleh laboratorium manapun. Hal ini menjadikan gaharu sebagai benteng terakhir kemewahan alami yang tidak dapat diproduksi secara massal oleh mesin.

 

Namun, di balik nilai finansialnya, pohon gaharu memegang peran ekologis yang vital sebagai pilar stabilitas lingkungan. Sebagai komponen hutan hujan, gaharu berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2) yang sangat efektif. Berdasarkan penelitian di Universitas Sumatera Utara (2023), tegakan gaharu memiliki kapasitas simpanan karbon (carbon storage) hingga 53,58 ton C/ha. Sebagai pengikat karbon (carbon sink), gaharu berperan aktif dalam mitigasi perubahan iklim global. Spesies ini menunjukkan efisiensi fiksasi karbon tahunan yang tinggi, menjadikannya aset penting dalam program reforestasi.

 

Fungsi lingkungan gaharu mencakup aspek remediasi dan konservasi lahan. Lebih lanjut karbon aktif dari kayu gaharu efektif digunakan sebagai adsorben alami untuk menyerap logam berat seperti Besi (Fe) dan Mangan (Mn), serta menetralkan limbah industri. Di lantai hutan, sistem perakarannya yang bersimbiosis dengan mikoriza membantu menjaga stabilitas tanah dan siklus hara, mencegah erosi di daerah tangkapan air.

 

Masa depan gaharu kini berada pada persimpangan antara konservasi ketat dan inovasi bioteknologi. Dengan statusnya yang dilindungi oleh CITES Appendix II, dunia mulai bergeser menjadi “arsitek luka” melalui teknik inokulasi buatan. Inovasi ini memungkinkan produksi resin tanpa harus menghancurkan populasi liar di hutan primer. Gaharu mengajarkan kita bahwa nilai tertinggi sering kali lahir dari kemampuan untuk mengelola krisis dan luka menjadi sebuah mahakarya yang aromanya akan terus dikenang tanpa merusak keseimbangan bumi. (***)

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan ke Jalen Aguirre Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 Komentar