Sidang Lanjutan Kasus Obstruction of Justice CPO: Penasihat Hukum Nilai JPU Akui Ada Kekeliruan Dakwaan

JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana persekongkolan jahat untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).

 

Perkara yang teregister dengan nomor 110-111-112/Pidsus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst ini menghadirkan tiga terdakwa, yakni Junaedi Saibih (advokat/dosen), Tian Bachtiar (mantan Direktur Pemberitaan JakTV), dan M. Adhiya Muzzaki (aktivis/buzzer). Mereka didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Bacaan Lainnya

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuduh ketiganya berupaya menggagalkan proses penanganan perkara melalui skema social engineering dan pemberitaan dengan narasi negatif, serta diduga menghilangkan barang bukti. Kasus ini berawal dari vonis lepas terhadap sebuah korporasi dalam perkara dugaan korupsi di sektor CPO, yang kemudian menimbulkan dugaan adanya pemufakatan jahat antara kuasa hukum korporasi dan sejumlah hakim.

 

Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Effendi, S.H., M.H., agenda utama adalah pembacaan tanggapan JPU atas eksepsi (keberatan) yang diajukan tim penasihat hukum terdakwa.

 

JPU menegaskan bahwa seluruh dalil dalam eksepsi tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

 

“Segala keberatan yang disampaikan penasihat hukum pada hakikatnya telah masuk pada ranah pembuktian, sehingga tidak sepatutnya diajukan pada tahap eksepsi. Dengan demikian, kami memohon agar seluruh eksepsi tersebut dikesampingkan,” tegas JPU di ruang sidang.

 

Jaksa juga menolak tudingan bahwa surat dakwaan kabur, tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap. Menurutnya, dakwaan telah disusun sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.

 

“Dakwaan telah disusun secara sistematis dan memenuhi unsur formil maupun materiil, serta telah menggambarkan secara lengkap rangkaian perbuatan terdakwa beserta peran masing-masing,” ujar JPU.

 

Terkait tudingan penggunaan putusan perdata dan laporan lembaga lain sebagai dasar dakwaan, JPU menegaskan hal itu sah secara hukum.

 

“Penuntut umum tidak menjadikan putusan perdata sebagai dasar tunggal, melainkan sebagai bagian dari alat bukti yang mendukung adanya keterkaitan antara tindakan hukum perdata dan tindak pidana yang sedang diperiksa,” jelasnya.

 

JPU juga menolak argumen bahwa dakwaan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap aktivitas advokasi atau kebebasan berekspresi.

 

“Yang dijerat bukanlah opini atau pandangan hukum, tetapi tindakan yang secara sadar dirancang untuk mempengaruhi proses hukum dan menghalang-halangi penyidikan dengan cara membentuk opini publik negatif,” tutur JPU.

 

Dalam penutupannya, jaksa meminta majelis hakim untuk menolak seluruh eksepsi dan melanjutkan pemeriksaan perkara ke tahap pembuktian.

 

“Kami memohon kepada Majelis Hakim yang mulia untuk menyatakan: satu, menolak seluruh keberatan penasihat hukum terdakwa; dua, menyatakan surat dakwaan penuntut umum telah memenuhi syarat formil dan materiil; dan tiga, melanjutkan pemeriksaan perkara ke tahap pembuktian,” ucap JPU.

 

Usai persidangan, penasihat hukum terdakwa Tian Bachtiar, Didik Supriyanto, menilai JPU justru secara tidak langsung mengakui adanya kesalahan dalam surat dakwaan.

 

“Dari apa yang tadi kami terima, karena kan nggak percaya lalu kami baca, ternyata ada hal yang conform dengan apa yang kami sampaikan dalam eksepsi, bahwa Jaksa mengakui ada kesalahan di dalam dakwaan, tapi dia sebutannya kesalahan dalam surat itu,” ujar Didik.

 

Menurutnya, pengakuan itu memperkuat dalil bahwa dakwaan tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap sebagaimana diatur Pasal 143 KUHAP.

 

“Saya kira itu bukan hal yang mudah untuk menolak bahwa itu memang ada kekeliruan. Tapi bagaimanapun, di dalam dakwaan pasal 143 harus itu jelas dan lengkap dan tepat,” tegasnya.

 

Didik juga mengapresiasi langkah majelis hakim yang menunda putusan eksepsi hingga dua minggu sebagai tanda kehati-hatian.

 

“Kami melihat hakim cukup serius sampai dua minggu dia tunda untuk mengambil keputusan terpisah dari pokok perkara,” katanya.

 

Ia pun berharap majelis hakim bersikap objektif dan berani dalam menegakkan kebenaran hukum.

 

“Saya juga berharap hakim bisa ada di tengah dan bisa melihat yang benarnya seperti apa — apakah memang dakwaannya sudah benar atau salah. Itu salah satu sikap yang benar, dan hakim harus punya keberanian,” tutup Didik. (Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *