JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Isa Rachmatarwata, mantan Kepala Biro Asuransi di Bapepam-LK, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sunoto, SH., MH. ini menghadirkan tiga saksi kunci, yakni Syahmirwan, Hary Prasetyo, dan Agustin Widi Astuti.
Perkara dengan nomor 84/Pid.Sus-TPK/2025 ini menjerat Isa karena diduga menyetujui pemasaran produk asuransi Saving Plan Jiwasraya yang menawarkan bunga tinggi hingga 13 persen per tahun, padahal kondisi keuangan perusahaan asuransi pelat merah itu tengah tidak sehat (insolven).
Dalam pemeriksaan, Hakim Sunoto mempertanyakan mekanisme pencatatan produk asuransi di Jiwasraya.
“Apakah permohonan pencatatan produk dilakukan di kantor Jiwasraya atau di biro perasuransian?” tanya Hakim Sunoto.
Menjawab hal itu, saksi Syahmirwan, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya, menerangkan bahwa proses pencatatan selalu dilakukan di kantor Biro Perasuransian.
“Dilakukan di kantor biro perasuransian, Yang Mulia. Biasanya pihak Jiwasraya datang langsung ke sana untuk membahas pencatatan produk. Yang bertanggung jawab adalah kepala bagian sesuai struktur organisasi,” jelasnya.
Sementara itu, saksi Hary Prasetyo, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, menjelaskan pembagian tugas internal terkait investasi dan keuangan.
“Investasi menjadi tanggung jawab saya. Laporan hasil investasi kami sampaikan ke Biro Perasuransian, termasuk saham, reksadana, dan properti,” ujar Hary.
Hakim Sunoto juga menyoroti dasar penetapan bunga tinggi pada produk Jiwasraya.
“Bagaimana dasar penentuan bunga yang mencapai 6,75% hingga 9,25%?” tanya hakim.
Saksi Syahmirwan menjelaskan bahwa angka tersebut disesuaikan dengan permintaan pasar.
“Divisi pemasaran meminta kesanggupan dari divisi investasi terkait imbal hasil. Setelah disetujui direksi, barulah diajukan ke regulator. Bunganya tahunan, sekitar 1–1,5% per tahun dari investasi,” terang Syahmirwan.
Ia menambahkan, imbal hasil tinggi diberikan agar produk lebih menarik bagi calon pemegang polis, meski diakui memiliki risiko yang besar.
“Risiko selalu ada, tapi mitigasi dilakukan. Namun keputusan akhir tetap di tangan direksi,” tambahnya.
Menjawab pertanyaan majelis tentang mekanisme peluncuran produk baru, Hary Prasetyo mengatakan bahwa keputusan dilakukan melalui rapat rutin direksi setiap Selasa.
“Setelah rapat internal, hasilnya disampaikan ke Biro Perasuransian untuk mendapat izin dan pencatatan. Direksi tidak bisa memutuskan sendiri tanpa izin regulator,” ujarnya.
Dalam kesaksiannya, saksi juga menegaskan peran penting Biro Perasuransian sebagai pengawas dan pembina industri.
“Biro Perasuransian berfungsi sebagai regulator. Setiap pengajuan produk disetujui direksi Jiwasraya dan disampaikan ke biro untuk ditandatangani. Tanpa izin biro, produk tidak bisa dipasarkan,” ungkap Syahmirwan.
Hakim Sunoto juga menyinggung adanya perjanjian reasuransi dengan PT Provident Capital.
“Perjanjian reasuransi tertanggal 15 April 2010 memang ada. Namun pembayaran mundur ke 15 Desember 2009 agar laporan memenuhi aturan cadangan teknis. Tidak ada uang tunai diterima Jiwasraya, hanya jaminan kas dari perusahaan reasuransi,” jelas Syahmirwan.
Selain itu, saksi Hary Prasetyo menambahkan bahwa seluruh investasi Jiwasraya selalu dilaporkan ke Bapepam-LK secara rutin.
“Kami melaporkan deposito, obligasi, dan saham setiap bulan, triwulan, dan tahunan,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan hakim mengenai dasar peluncuran produk Super Jiwasraya, saksi menyebutkan bahwa langkah itu diambil untuk memperbaiki kinerja perusahaan.
“Pada 2008–2009 kami mencari produk baru agar penjualan meningkat. Namun pada 2009, Bapepam-LK sudah mengingatkan bahwa produk baru harus mendapat izin dan pencatatan resmi,” tutur Syahmirwan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalilkan bahwa Isa Rachmatarwata, sebagai pejabat Bapepam-LK, menyetujui pemasaran produk Jiwasraya dengan bunga tinggi meski mengetahui kondisi keuangan perusahaan tidak sehat.
Padahal, Pasal 6 KMK Nomor 422/KMK.06/2003 menegaskan bahwa perusahaan asuransi tidak boleh memasarkan produk baru bila dalam keadaan insolven.
“Sebelum memberikan persetujuan, Isa beberapa kali bertemu direksi Jiwasraya di kantor Bapepam-LK. Meski tahu Jiwasraya bermasalah, dia tetap menyetujui produk saving plan,” terang JPU dalam persidangan.
Atas perbuatannya, terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan. (Red5)












