JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi fasilitas kredit macet Bank Negara Indonesia (BNI), Cabang Daan Mogot dan Jakarta Kota, dengan terdakwa Lia Hertika Hudayani, Ferry Syarfariko, Nazal Gilang Romadhon, dan Lilys Yuliana alias Sansan (DPO) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025).
Perkara dengan nomor 88-89-90/Pidsus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst ini menyoroti dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp34,5 miliar. Sidang kali ini beragendakan pemeriksaan saksi dari pihak internal BNI.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan empat orang saksi, yakni Hendra Nuryawan, Estu Prabowo, Ronald David, dan Yongke Hutaharian. Keempatnya memberikan keterangan mengenai proses pengajuan hingga pencairan kredit yang menjadi pokok perkara.
Hendra Nuryawan, pada keterangan selaku mantan pimpinan cabang BNI Daan Mogot, menjelaskan bahwa kewenangannya terbatas hanya untuk pengajuan kredit di atas Rp400 juta.
“Untuk di bawah Rp400 juta, itu kewenangan ada di wapincab,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Sementara itu, Estu Prabowo menyampaikan bahwa dirinya merupakan pihak yang mengesahkan perjanjian kredit tersebut. Ia mengaku baru mengetahui adanya kasus kredit macet setelah diperiksa oleh kejaksaan.
“Setahu saya waktu itu berjalan lancar. Saya baru mengetahui kasus kredit macet ini saat diperiksa di kejaksaan,” ungkap Estu.
Saksi ketiga, Ronald David, menegaskan bahwa pengajuan kredit secara administrasi telah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Namun, menurutnya, kesalahan justru terjadi dalam proses pelaksanaannya di lapangan.
“Pengajuan sudah sesuai SOP, tapi prosesnya yang salah. Jaminannya tidak ada, debitur juga tidak jelas punya usaha,” jelasnya.
Ronald mengaku baru mengetahui kredit tersebut bermasalah pada tahun 2024, padahal proses pengajuan berlangsung sejak tahun 2021.
Adapun Yongke Hutaharian menjelaskan bahwa tanggung jawab atas proses kelayakan dan pencairan kredit berada di tangan pihak CRM.
> “Tanggung jawab dalam proses pencairan ada pada CRM,” kata Yongke singkat.
Penasihat hukum terdakwa Lia Hertika Hudayani, Erdi Surbakti, usai persidangan kepada awak media menjelaskan, menilai bahwa dari seluruh keterangan saksi, tidak ada yang secara jelas mengetahui peran Lia sebagai penyelia maupun Credit Relationship Manager (CRM) dalam kaitannya dengan dugaan kerugian negara.
“Itu bisa dilihat dari pencairan di cabang, semuanya tidak mengetahui peranan Lia sebagai penyelia maupun CRM dalam hal kerugian negara yang dimaksud dalam dakwaan,” ujar Erdi.
Erdi juga menyoroti bahwa dalam praktik di cabang, terdapat peran Wakil Pimpinan Cabang (Wapincab) yang memiliki kewenangan dalam menyetujui fasilitas kredit di bawah Rp400 juta. Namun, hal tersebut, menurutnya, belum digali secara mendalam oleh jaksa dalam pemeriksaan saksi.
“Kami melihat ada proses yang menurut keyakinan cabang justru menjadi peranan Wapincab untuk menentukan persetujuan kredit,” tambahnya.
Lebih lanjut, Erdi menegaskan bahwa dua hal pokok yang perlu diperjelas dalam perkara ini adalah peran CRM dan mekanisme persetujuan oleh Wapincab, yang dianggap krusial dalam menentukan posisi hukum para terdakwa.
“Yang menjadi pokok masalah ada dua poin itu. Dari keterangan saksi-saksi memang ada yang memberatkan, tapi kami juga memohon kepada jaksa maupun majelis agar saksi yang relevan bisa dihadirkan,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Erdi juga meminta agar majelis hakim menghadirkan saksi Hanifah, yang disebutnya memiliki peran penting untuk menjelaskan proses penyaluran kredit senilai Rp100 juta.
“Kami mohon agar saksi Hanifah dihadirkan dalam pemeriksaan berikutnya, karena dari keterangan sebelumnya, beliau tidak terlibat dalam proses penyaluran kredit tersebut,” tegas Erdi. (Yuko)












