JAKARTA, PERKARANEWS.COM –Persidangan lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (21/10/2025).
Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sunoto, SH., MH. ini menghadirkan dua saksi ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yakni Dian Kartikasari Widyaningrum dan Teguh Siswanto, untuk memberikan keterangan terkait aspek kepatuhan pengelolaan kegiatan investasi dan metodologi penghitungan kerugian negara.
Perkara dengan Nomor 68/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst ini menjerat tiga mantan petinggi ASDP, Ira Puspadewi (mantan Direktur Utama), Harry Muhammad Adhi Caksono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan 2020–2024), dan Muhammad Yusuf Hadi (Direktur Komersial dan Pelayanan 2019–2024). Ketiganya didakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,25 triliun dalam proses akuisisi PT JN pada periode 2019–2022.
Penasihat hukum terdakwa Ira Puspadewi, Soesilo Aribowo, menyoroti kelemahan dalam keterangan pihak BPK, terutama terkait ketidaktahuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 mengenai kewenangan penetapan kerugian negara.
“Ya itu mengenai opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tapi ada yang saya sayangkan, ahli dari BPK mengatakan tidak tahu mengenai Putusan MK Nomor 31 Tahun 2012. Padahal jelas, yang berwenang mendeklarasikan kerugian negara itu BPK. Kalau yang menghitung boleh siapa saja,” ujar Soesilo Aribowo usai sidang.
Menurutnya, ketidaktahuan lembaga sekelas BPK terhadap putusan MK dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum dan tata kelola keuangan negara.
“Ini agak repot kalau lembaga tinggi semacam ini tidak secara tegas memahami hal itu. Didalam undang-undang dan surat edaran juga sudah jelas disebutkan bahwa yang berwenang mendeklarasikan kerugian negara itu BPK,” tegasnya.
Lebih lanjut, Soesilo menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak melibatkan BPK secara resmi dalam melakukan audit atau perhitungan kerugian negara.
“KPK kalau melihat hasil persidangan tadi, tidak bersurat kepada BPK. Sehingga BPK tidak pernah menurunkan timnya untuk menghitung kerugian negara,” jelasnya.
Ia menegaskan, tanpa keterlibatan resmi BPK, hasil perhitungan yang digunakan penyidik menjadi tidak sah secara hukum dan rawan menimbulkan keraguan terhadap validitas penyidikan.
Saksi ahli, Dian Kartikasari Widyaningrum, menjelaskan bahwa audit yang dilakukan terhadap PT ASDP bukan untuk menilai hasil atau keberhasilan investasi di masa depan, melainkan untuk mengukur tingkat kepatuhan terhadap prosedur dan dokumen akuisisi.
“Kami melakukan audit dalam rangka menguji kepatuhan terhadap aktivitas operasi akuisisi dan nasihat hukum berdasarkan surat tugas kami,” jelas Dian dalam keterangannya.
Ia menegaskan bahwa kegiatan investasi bersifat jangka panjang dan hasilnya baru dapat diukur di masa mendatang.
“Kegiatan investasi itu dilaksanakan untuk memperoleh aset yang nantinya digunakan untuk menghasilkan revenue. Berhasil atau tidak tentu diuji di masa depan, bukan kompetensi kami untuk menilai sekarang,” ujarnya.
Terkait penilaian aset kapal, Dian menegaskan hal tersebut dilakukan oleh ahli profesional yang berkompeten, bukan auditor BPK secara langsung.
“Dalam pemeriksaan, kami melakukan konfirmasi dan verifikasi terhadap laporan konsultan yang disampaikan oleh PT ASDP, serta memastikan bahwa penilaian aset dilakukan oleh ahli yang berkompeten,” paparnya.
Untuk tindak lanjut hasil audit, BPK hanya melakukan pemantauan administratif terhadap dokumen, bukan pemeriksaan ulang.
“Untuk tindak lanjut hasil rekomendasi itu bukan pemeriksaan, tapi pemantauan atas dokumen-dokumen yang sudah disampaikan kepada kami. 91,46% telah ditindaklanjuti, 4,27% masih proses, dan 4,27% tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan sah,” pungkas Dian.
Sementara saksi ahli lainnya dari BPK, Teguh Siswanto, memaparkan tentang metodologi dan standar yang digunakan dalam perhitungan kerugian keuangan negara. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
“Untuk perhitungan kerugian negara, kewenangan diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 dan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2020 tentang pemeriksaan, verifikasi, dan perhitungan kerugian negara,” jelas Teguh.
Ia menambahkan, dalam praktik tertentu, lembaga seperti BPKP, Inspektorat, atau akuntansi forensik KPK juga dapat melakukan perhitungan kerugian negara, tergantung konteks pemeriksaan.
“Selain BPK, BPKP atau Inspektorat juga bisa menghitung kerugian negara. Bahkan akuntansi forensik KPK pernah menghitung kerugian negara dalam kasus Pelindo,” ungkapnya.
Teguh juga menyoroti pentingnya penerapan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) oleh seluruh auditor.
“SPKN harus dipatuhi oleh semua pihak yang melakukan investigasi dan perhitungan kerugian negara, termasuk auditor publik yang ditunjuk oleh BPK,” tegasnya.
Dalam menjelaskan metode audit, Teguh membedakan antara pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif.
“Untuk pemeriksaan kepatuhan bisa menggunakan uji petik. Namun, untuk investigasi menghitung kerugian negara tidak boleh uji petik, harus populasi,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa setiap bukti pemeriksaan harus memenuhi unsur relevan, andal, dan valid agar dapat dijadikan dasar kesimpulan audit.
Menanggapi hasil audit BPK, Soesilo menilai tingkat kepatuhan ASDP terhadap rekomendasi hasil pemeriksaan mencapai 91,46%, dan hal tersebut menunjukkan tata kelola perusahaan masih cukup baik.
“Secara keseluruhan, dari hasil pemeriksaan tadi, tingkat kepatuhan itu mencapai 91%. Saya kira itu cukup bagus,” pungkasnya. (Yuko)













Your blog is a treasure trove of knowledge! I’m constantly amazed by the depth of your insights and the clarity of your writing. Keep up the phenomenal work!
This is a great article, i am simply a fun, keep up the good work, just finish reading from https://websiteerstellenlassenbamberg.de// and their work is fantastic. i will be checking your content again if you make next update or post. Thank you