Landbouw. Drama Kolonialisme Gaya Baru di Tanah Merdeka, Jelang HUT RI ke-80

BANGKA BARAT, PERKARANEWS.COM – Sepertinya, kemerdekaan hanyalah dongeng manis di telinga para petani Landbouw, Kelurahan Kelapa, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat. Perjuangan mereka mirip kisah lama yang terulang, sebuah parodi menyedihkan dari kasus Almarhum Zulkarnain Karim, Walikota Pangkalpinang, yang digugat PT Melbi bertahun silam. Kala itu, Pemkot Pangkalpinang sok-sokan banding ke PTUN Medan dan akhirnya gigit jari karena putusannya sudah inkrah. Kini, giliran petani yang jadi santapan lezat bagi ambisi penguasa.

 

Landbouw justru menyisakan luka terdalam, sebuah bukti nyata bahwa semangat kolonial Belanda masih bergentayangan di bumi pertiwi. Tanah yang dulunya ladang pengisi perut para petinggi Belanda ini, kini menjadi arena pertempuran antara rakyat kecil dengan pemimpinnya sendiri. Sungguh romantisme yang memuakkan, di mana penguasa tega mengkhianati dan melukai hati warganya.

 

Bacaan Lainnya

Dulu, tanpa banyak ba-bi-bu, pemerintah datang dengan program manis yang menjanjikan surga, namun berakhir dengan neraka bagi petani. Hak masyarakat disita seenaknya, seolah-olah tanah itu milik pribadi raja.

 

Ingat, sengketa ini bermula dari proyek abal-abal Pemkab Bangka Barat dengan Pemprov DKI Jakarta di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Bupati Muntok, Markus. Proyek bernilai miliaran rupiah ini sukses besar dalam menyisakan persoalan panjang.

 

Lucunya, lahan pemerintah Bangka Barat yang semula hanya seukuran upil, yakni 5,6 hektar, tiba-tiba membengkak jadi 113 hektar. Dan ironisnya, lahan “ajaib” ini justru adalah milik masyarakat yang sudah turun-temurun mengelola, bahkan rajin membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Ini bukan sulap, bukan sihir, tapi ketamakan yang tak tahu malu.

 

Ahmad Wahyudi, Sekretaris AWAM BABEL (Aliansi Wartawan Muda Bangka Belitung) dan Wartawan Madya, menyoroti fenomena tragis ini.

 

“Ini sangat menyakitkan di tengah menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia 80 tahun. Tapi apa yang terjadi di Bangka Belitung ternyata meninggalkan kisah sebuah sejarah yang terulang akibat rakusnya dan jahatnya terkesan ambisiusnya melawan masyarakat yang sudah mendapatkan hasil dari Pengadilan Tata Usaha Negara Pangkalpinang,” ujarnya dengan nada sinis.

 

Bagaimana tidak, putusan PTUN sudah membatalkan secara hukum dan perundang-undangan bahwa tidak ada aset atas nama Bangka Barat lagi. Itu artinya, secara logika waras, yang menjadi hak masyarakat dengan bukti-bukti tanam tumbuh dan pembayaran PBB, harusnya dikembalikan.

 

AWAM Babel berharap Bupati, Sekda, dan Biro Hukum Pemkab Bangka Barat berlogika hati, memberi peluang masyarakat mengelola tanah mereka.

 

“Hal ini sangat-sangat menyedihkan sehingga masyarakat harus berjuang di pengadilan untuk mendapatkan hak mereka. Ketika hak mereka sudah didapatkan bukannya dikembalikan tapi malah diajak perang. Apakah ini? Apakah masyarakat petani Landbouw bukan lagi masyarakat Bangka Barat yang terkesan dizalimi dan dirampas haknya?” pungkas Wahyudi, sebuah pertanyaan retoris yang menusuk telak nurani. (Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 Komentar