JAKARTA,PERKARANEWS.COM– Sebuah ironi hukum terkuak di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025). Lisa Rachmat, pengacara yang sebelumnya berhasil membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari jeratan hukum di Pengadilan Negeri Surabaya, kini justru menghadapi nasib sebaliknya. Lisa, yang bersumpah membela keadilan, terbukti bersalah dalam pemufakatan jahat terkait vonis bebas kontroversial kliennya tersebut.
Dalam putusan yang mencengangkan, Majelis Hakim memvonis Lisa Rachmat dengan hukuman 11 tahun penjara, denda sebesar Rp750 juta, dan subsider 6 bulan kurungan. Vonis ini seolah menjadi antitesis dari keberhasilannya membebaskan Tannur, menciptakan sebuah paradoks dalam narasi keadilan.
Bagaimana mungkin seorang pembela hukum justru tersandung hukum karena tindakan yang justru membela kliennya?
Pikir-Pikir, ataukah Harapan Semu di Tengah Keterbatasan Bukti?
Andi Syarief, Penasihat Hukum Lisa Rachmat, yang ditemui awak media usai persidangan, mengungkapkan bahwa kliennya memilih sikap pikir-pikir atas putusan tersebut. Sebuah jeda waktu tujuh hari diberikan sebelum vonis ini berkekuatan hukum tetap (incraht).
Pikir-pikir, sebuah pilihan yang mengandung harapan sekaligus dilema, seolah mencerminkan pertarungan antara keyakinan dan realita pahit di ruang sidang.
Andi Syarief secara terang-terangan menyatakan tidak sependapat dengan putusan hakim, meskipun tetap menghormatinya.
“Kami tetap menghormati ini putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim di Pengadilan,” ujarnya.
Namun, ia menyoroti kejanggalan sejak awal perkara. Menurut Andi, kasus ini tidak sah karena tidak ada proses penyelidikan, penyidikan, surat perintah penangkapan, penyitaan, atau penggeledahan yang mendasari penangkapan Lisa Rachmat.
“Dalam persidangan kami tidak menemukan satu alat bukti pun, yang menjelaskan perbuatan Lisa Rachmat,” tegasnya, menambah lapisan paradoks pada vonis yang telah dijatuhkan.
Hakim Ketua Rosihan Juhriah Rangkuti, dalam amar putusannya, menyatakan bahwa Lisa Rachmat terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyuap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya dan melakukan pemufakatan jahat percobaan menyuap majelis kasasi di Mahkamah Agung. Perbuatan ini melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo Pasal 18 dan Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut Lisa Rachmat 14 tahun penjara dan denda yang sama. Kontras antara tuntutan dan putusan akhir, serta ketidakpuasan pihak pembela, menyoroti kompleksitas dan persepsi yang berbeda dalam penegakan hukum. Pada akhirnya, kasus ini menjadi cermin akan dilema yang dihadapi para penegak hukum antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.(Yuko)