PANGKALPINANG,PERKARANEWS.COM – Ungkapan “Macem Belande diberik tana” seringkali terucap dalam perbincangan sehari-hari di Bangka Belitung, merujuk pada situasi di mana seseorang diberi sedikit, namun kemudian mengambil banyak dengan cara licik.
Namun, tahukah Anda bahwa kiasan ini berakar kuat dari sebuah kisah nyata yang menggambarkan taktik licik Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dalam menancapkan dominasinya di Palembang, yang dampaknya meluas hingga ke Bangka dan Nusantara?
Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, seorang sejarawan dan budayawan terkemuka penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, mengungkap kisah di balik ungkapan populer ini. Narasi ini berpusat pada awal mula VOC menancapkan pengaruhnya di Kesultanan Palembang.
Kisah bermula pada masa pemerintahan Pangeran Sedo Ing Kenayan, sekitar tahun 1641 M, ketika Palembang masih berbentuk sebuah kerajaan yang berdaulat. VOC, dengan ambisi ekspansifnya, mengajukan permintaan kepada Raja Palembang untuk membangun loji (kantor dagang dan benteng) di Sungai Aur, Palembang.
Permintaan ini awalnya ditolak oleh Raja Palembang yang bijaksana. Namun, Belanda tidak kehabisan akal. Dengan kelicikan yang menjadi ciri khas mereka, VOC merayu Raja Palembang dengan hanya meminta sebidang tanah yang sangat kecil, konon seluas satu ekor kulit sapi.
Pangeran Sedo Ing Kenayan, mungkin merasa permintaan itu tidak terlalu berarti, akhirnya mengabulkannya. Namun, di sinilah letak kecurangan VOC. Ketika satu lembar kulit sapi hendak dibentangkan sebagai ukuran tanah yang disepakati, Belanda secara mengejutkan mengiris kulit sapi tersebut menjadi potongan-potongan yang sangat kecil dan tipis, sehingga membentuk seutas tali yang sangat panjang. Ketika tali kulit sapi itu direntangkan, hasilnya adalah sebidang tanah yang jauh lebih luas dari yang dibayangkan Pangeran Sedo Ing Kenayan.
“Dengan cara ini, Belanda pun berhasil membangun Loji yang cukup besar di Sungai Aur,” jelas Dato’ Elvian. Inilah awal mula taktik licik VOC dalam menguasai lahan dan menancapkan kekuasaan mereka di wilayah Nusantara.
Dominasi VOC di Palembang semakin menguat seiring berjalannya waktu. Pada masa Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714 M), VOC berhasil mengibarkan bendera Merah Putih Biru di loji Sungai Aur. Pengibaran bendera ini bukan sekadar lambang identitas, melainkan simbol terang-terangan dari kekuasaan Belanda yang kini berakar kuat di wilayah Palembang.
Puncak dari intimidasi VOC terlihat pada tahun 1722 M, di masa Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno. Belanda berhasil memasang meriam-meriam yang diarahkan langsung ke Kraton Kesultanan Palembang. Sebuah ancaman militer yang jelas, menunjukkan betapa besar kekuatan dan kendali yang telah diperoleh VOC atas Palembang.
Demikianlah kisah asal muasal kiasan “Macem Belande diberik tana,” sebuah ungkapan yang diwarisi dari pengalaman pahit nenek moyang kita menghadapi kelicikan kolonial. Kisah ini bukan hanya sekadar anekdot, melainkan pelajaran berharga tentang bagaimana dominasi asing dimulai dari hal-hal kecil, berujung pada penguasaan wilayah dan sumber daya secara keseluruhan. Wallahualam.(Yuko)