Oleh: AERYN NAFISYAH
(Mahasiswa Universitas Bangka Belitung)
PANGKALPINANG,PERKARANEWS – Bayangkan suasana pagi yang tenang di Desa Batu Beriga, Bangka Tengah. Anak-anak berlari di pantai, tertawa bahagia sambil bermain dengan pasir dan ombak. Para nelayan, yang meneruskan tradisi menangkap ikan dari generasi sebelumnya, sedang mengangkat jaring mereka dengan harapan mendapatkan hasil yang cukup untuk keluarga dan kebutuhan sehari-hari. Bagi mereka, laut bukan hanya sekadar air asin, tetapi sumber kehidupan, inti kebudayaan, dan bagian dari identitas yang telah ada sejak lama.
Namun, ketenangan ini sekarang dalam bahaya. PT Timah, perusahaan tambang milik negara, sedang bersiap untuk memulai aktivitas penambangan di perairan Beriga. Meskipun alat berat dan izin operasional sudah disiapkan, satu pertanyaan besar muncul: apakah masyarakat Beriga benar-benar siap menghadapi dampak dari tindakan ini? Ini bukan hanya soal kesiapan administratif atau teknis, tetapi juga kesiapan sosial, ekologis, dan psikologis dari masyarakat yang bergantung pada laut yang sehat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa timah adalah komoditas penting yang telah memberikan dampak besar bagi perekonomian Bangka Belitung. Ia menciptakan lapangan kerja, menarik investasi, dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Namun, di balik semua manfaat ekonomi yang disajikan dalam laporan tahunan dan presentasi pemerintah, kita harus menyadari sisi gelap dari penambangan. Lubang-lubang galian yang menganga, air laut yang keruh dan tercemar, terumbu karang yang mati perlahan, serta kisah nelayan yang kehilangan sumber penghidupan adalah kenyataan pahit yang masih menghantui banyak daerah penambangan di Bangka Belitung.
Beriga bukanlah tempat kosong yang bisa dieksploitasi. Ia adalah daerah yang hidup dengan ekosistem laut yang beragam, masyarakat yang memegang nilai-nilai kearifan lokal, dan hubungan sosial yang kuat antarwarga. Memasukkan aktivitas tambang ke dalam kehidupan ini tanpa pendekatan yang menyeluruh hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan. Konflik horizontal bisa meningkat, terutama jika ada kelompok masyarakat yang mendapat keuntungan sementara yang lain justru mengalami kerugian. Ketahanan pangan juga akan terancam. Saat laut tercemar dan hasil tangkapan menurun, akan sulit menemukan pilihan alternatif dengan cepat. Kekhawatiran masyarakat Beriga bukan hanya wacana belaka.
Mereka telah menunjukkan sikap tegas dengan melakukan serangkaian aksi demonstrasi yang melibatkan ratusan warga dari beragam latar belakang—nelayan, ibu rumah tangga, pemuda, tokoh Masyarakat, dan mahasiswa. Dalam beberapa bulan terakhir, penolakan terhadap rencana penambangan semakin menggema, mulai dari aksi damai di kantor Gubernur dan kantor desa hingga kemarin terjadi demonstrasi besar di kantor Bupati Bangka Tengah. Spanduk bertuliskan “Tolak Tambang di Beriga” menjadi simbol perlawanan kolektif terhadap kebijakan yang dianggap mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Aksi demonstrasi ini tidak hanya sekadar simbol penolakan, tetapi juga sebagai bentuk keberanian masyarakat untuk menuntut hak partisipasi dan keadilan ekologis. Mereka menolak diperlakukan sebagai objek kebijakan yang tidak memiliki kekuatan. Mereka menuntut transparansi, akuntabilitas, dan proses konsultasi yang nyata, bukan sekadar formalitas. Mereka ingin memastikan bahwa keputusan yang diambil atas nama pembangunan tidak menjadi awal dari kerusakan sosial dan ekologis di tanah mereka. Pemerintah dan PT Timah seharusnya memahami bahwa cara pandang terhadap pembangunan telah mengalami perubahan.
Saat ini, masyarakat tidak lagi dipandang sebagai objek dalam pembangunan tetapi sebagai pihak yang perlu dilibatkan dalam setiap tahapnya. Ketika ratusan orang melakukan aksi di jalan, itu adalah tanda kuat bahwa ada yang tidak beres dengan cara yang telah dijalankan. Di tengah tantangan perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan yang semakin nyata, kita membutuhkan arah pembangunan yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin keberlanjutan hidup.
Beriga memiliki potensi yang luar biasa untuk berkembang menjadi kawasan ekowisata laut, pusat pendidikan lingkungan, atau desa pesisir yang mandiri dan menjadi contoh sukses kolaborasi antara manusia dan alam. Potensi ini memiliki prospek yang tidak kalah menarik dibandingkan keuntungan sementara dari pertambangan. Namun, hal ini hanya dapat dicapai jika kita berani mengambil langkah yang berpihak pada masa depan, bukan hanya pada keuntungan jangka pendek.
Masyarakat Beriga tidak anti pembangunan. Mereka hanya menolak pembangunan yang mengesampingkan hak mereka untuk mendapatkan lingkungan yang bersih, aman, dan berkelanjutan. Mereka mendambakan pembangunan yang inklusif, melibatkan partisipasi, dan menghormati nilai-nilai lokal. Jika suara mereka diabaikan, kita tidak hanya merugikan ekosistem yang kaya, tetapi juga kehilangan kepercayaan dan harapan dari generasi mendatang. Saatnya untuk mengubah cara berpikir: tambang bukan satu-satunya cara untuk mencapai kesejahteraan. Dengan melindungi laut, menjaga ekosistem, dan memperkuat masyarakat pesisir, kita dapat menciptakan kesejahteraan yang adil, berkelanjutan, dan bermartabat. Karena pada akhirnya, laut yang sehat akan terus memberi kehidupan yang lebih lama dan lebih bijaksana dibandingkan lubang-lubang tambang yang hanya meninggalkan kerusakan.(Yuko)