Misno, S.Ag. ; Moderasi Beragama Dalam Falsafah Tarian Naga

PANGKALPINANG,PERKARANEWS — Perayaan tahun baru Imlek dan ditutup dengan Cap Go Meh yang merupakan salah satu perhelatan besar yang digelar etnis Tionghoa setiap tahunnya, seringkali diisi dengan berbagai ritual, mulai dari sembahyang di Vihara/Kelenteng, pemasangan lampion, hingga pertunjukan kesenian tradisional khas, seperti barongsai dan tarian naga atau liang liong.

Seperti yang dilakukan di Vihara Avalokitesvara beberapa waktu yang lalu, dimana kedua jenis kesenian tersebut pun ikut memeriahkan perayaan tahun baru ke 2575 di tahun naga kayu ini.

Misno, S.Ag., Penyelenggara Bimbingan Masyarakat Buddha Kantor Kementerian Agama Kota Pangkalpinang yang juga turut hadir dalam acara tersebut, saat dihubungi, pada Minggu (25/2/2024) menuturkan bahwa selain bertujuan untuk melestarikan budaya, dalam pertunjukan kesenian tradisional tersebut juga terkandung banyak makna yang dapat dijadikan pedoman kehidupan.

Diceritakannya, dalam tarian tersebut naga biasanya dibawa menggunakan tongkat yang terpasang di bawah perutnya, sementara itu untuk ukuran liongnya sendiri memiliki panjang sekitar 9-10 meter yang dimainkan sepuluh orang.

Bacaan Lainnya

Para pemain kemudian menirukan gerakan-gerakan seperti naga, berkelok-kelok dan berombak-ombak. Di barisan paling depan ada pemain yang bertugas mengangkat bola Mutiara yang disimbolkan sebagai matahari atau kebijaksanaan. Dengan kata lain sang Liong atau naga akan terus mengejar kebijaksanaan.

“Atraksi ini diwarnai dengan berbagai aksi akrobatik, sehingga dibutuhkan konsentrasi tinggi, koordinasi dan kekompakan antar pemain, agar dapat memperlihatkan keindahan dari liukan naga tersebut,” lanjutnya.

Dalam pertunjukan tarian naga yang seringkali dimainkan dalam berbagai momen peringatan hari besar etnis Tionghoa dan umat Buddha ini, juga terkandung falsafah yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi beragama. Dimana keselarasan dan harmoni yang dibangun oleh para pemain dalam menciptakan suatu gerak yang indah, dapat diimplementasikan dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama, dengan hidup berdampingan, saling menjaga dan menghormati dalam bingkai toleransi.

“Kesenian khas yang dalam setiap penampilannya dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat, baik dari etnis Tionghoa maupun etnis Melayu lainnya ini, sekaligus menunjukkan bahwa moderasi dan toleransi antar umat beragama telah tercipta dan terjaga dengan baik di bumi serumpun sebalai yang populer dengan slogan Thong Ngin Fan Ngin Jit Jong ini,” pungkasnya. (Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *