Rempang; Luka Sosial Yang Mendalam

Oleh:
Muhamad Nurul Huda
Mahasiswa Etika Profesi Hukum Semester 5 IAIN SAS Babel
Diampu oleh :
Jhohan Adhi Ferdian, S.H., M.H

REMPANG,PERKARANEWS – Masih segar dalam ingatan, betapa panasnya konflik agraria di Pulau Rempang, Batam. Banyak kalangan ungkap suara, mulai dari tokoh publik, cendikiawan, aktifis, tokoh agama, pejabat negara hingga masyarakat biasa, mereka seolah menyeruak membela hak rakyat. Berbagai kata kata, krtik maupun saran, masukan bahkan sindiran. Hal ini di lontarkan seolah mewakilkan keluh kesah mereka yang terselip dalam sanubari sebagian insan, namun tak sampai pada ujaran kebencian, karena moral dan etika tak boleh di kesampingkan, sehingga tak menabrak norma kesusilaan. Tetapi apalah daya ketika yang berkuasa angkat bicara, seolah membungkam pernyataan yang ada. Berbagai desas desus lahir, sehingga sulit bedakan antara narasi dan realita, akhirnya tragedi ini naik daun menjadi isu nasional, bahkan dilirik manca negara.

Rencana pembangunan investasi super power dari investor asing mendapat resistensi yang cukup masif oleh warga setempat, terlebih warga yang merasa telah tinggal di pulau Rempang secara turun temurun yang membentuk sebuah peradaban manusia. Ganti rugi seolah sepadan oleh sebagian pihak, namun tak menggiurkan bagi masyarakat setempat . Wacana pemberian uang dalam jumlah tak sedikit, bahkan tempat tinggal yang lebih baik seolah mendukung relokasi ini, namun kesepadanan bukan hanya soal materi dalam hitungan angka semata. Resistensi lahir di saat eksekusi relokasi atau penggusuran akan dilangsungkan oleh pihak pemerintah, yang diwakili oleh BP Batam dan Pemerintah Kota Batam. Kejadian buruk tak dapat di pungkiri, konflik terbuka antara aparat keamanan dengan masyarakat setempat tak dapat terelakkan. Tak cukup sampai di situ, aksi balasan berlanjut dengan aksi unjuk rasa yang cukup frontal di kantor BP Batam dan Wali Kota Batam. Melihat konflik ini seolah tercermin hubungan antara pemerintah dan rakyat tidak baik baik saja, arogansi aparat penegak hukum seolah menjadi ambang pemisah antara pejabat dan rakyat, warga Rempang menuntut hak dan keadilan dengan berbagai cara, namun tak sedikit yang di intimidasi seolah mendapat ancaman jeruji besi.

Jika di Analisa lebih lanjut, sebenarnya warga Rempang tidak mempermasalahkan dengan adanya pembangunan proyek besar di Rempang, dengan konsep pengembangan Rempang Eco City, yang menjadi lokasi investasi produsen kaca China, Xinyi Glass Holdings Ltd senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp 175 triliun.Perusahaan yang dibangun Xinyi Grup, termasuk pabrik pemrosesan pasir silika, industri soda abu, industri kaca panel surya, industri kaca float, industri silicon,
industrial grade, industri presilicon, industri pemrosesan crystal, hingga industri cel dan modul surya dan lainnya.Yang menjadi titik permasalahan adalah mereka sangat menolak jika di gusur walaupun di relokasi ketempat lain sebagai bentuk tanggung jawab dan ganti rugi. Sosialisasi di awal sebagai itikad baik, tidak di lakukan oleh pemerintah kepada warga Rempang terhadap pembangunan Mega Proyek Rempang Eco City, hal tersebut baru diketahui sekitar awal bulan Agustus 2023 setelah hal ini mengudara dan tersorot media.

Bacaan Lainnya

Rempang Eco City ini memang penting mengingat keuntungan dan hasil yang didapatkan, namun yang paling penting adalah memastikan pembangunan ini tidak mengorbankan rakyat. pemerintah pada dasarnya, yakni membuat kebijakan yang harus menjaga keseimbangan antara investasi dan hak hidup rakyat. Janganlah kedua hal ini dipandang berbeda secara terpisah, karena seharusnya saling beriringan searah dan sejalan, pada hakikatnya investasi yang bermutu adalah yang humanis dan berdimensi kemanusiaan, supaya dapat mensinergikan sebuah kepercayaan, bukan investasi yang mengekang dan berpihak sebagian.

Regulasi beralasan investasi, tapi kesannya wadah untuk memperkaya oligarki

Jika melihat pangkal masalah dari kerusuhan yang ada di pulau Rempang ,maka perlu flash back beberapa tahun kebelakang. Yang menjadi tanda tanya besar adalah sebenarnya apa yang menjadi akar permasalahan, sehingga terjadilah kerusuhan belum lama ini. Maka menurut pandangan penulis titik tujuannya bermula ketika pada tanggal 06 April 2019 di stadion tumenggung Abdul Jamal kota Batam, bahwa calon presiden atas nama Jokowi Dodo menebar janji terhadap masyarakat disana, bahwa akan di fasilitasi program pembuatan sertifikat gratis untuk wilayah kampung tua di Batam (termasuk Rempang adalah kampung tua yang arsipnya lengkap di monumen Belanda), dengan estimasi waktu penyelesaian program tersebut selama 3 bulan. Lalu untuk pemilihan presiden yang berlangsung pada 07 April 2024 menjadikan pak Jokowi presiden dua periode. Pada masa ia menjabat ia terkesan mulai melupakan janji yang telah di lontarkan, bagaimana tidak? Pada tanggal 27 Januari 2021 jendral pol Sigit, dalam pidatonya presiden menyampaikan bahwa bila ada wilayah yang Kapolda atau Kapolres tidak tegas dalam mengawal proses berjalannya proyek investasi untuk negara maka akan di copot (menurut saya ini terkesan ancaman kepada aparat keamanan, seakan adanya proyek nasional sudah direncanakan untuk berbenturan dengan rakyat sebab stimulus yang di tawarkan tidak pro terhadap rakyat yang berada di wilayah proyek tersebut) lalu pada tanggal 28 Juli presiden Indonesia berangkat kunjungan kerja ke Cina, bertemu dengan Xin jin ping (presiden China) beserta dengan para pengusaha besar di China. Hasilnya adalah pada tanggal 15 Agustus 2023 menteri investasi Bahlil Lahadalia di utus ke pulau Rempang bersama kepala BP Batam Muhammad Rudi beserta rombongannya menyampaikan bahwa akan ada perusahaan bernama Xinyi glass di pulau Rempang sebagai proyek strategis nasional dengan nilai investasi 175 triliun. Puncaknya adalah apa yang terjadi pada 12 September 2023 dimana puluhan ribu masyarakat dari 16 kampung tua di Rempang-galang demo menolak masuknya proyek, sebab akan di relokasi ke tempat lain dari tempat yang selama ini mereka hidup. Menurut data, ada 43 orang di tangkap dan 12 orang di penjara yaitu rombongan bang long. Jadi apakah investasi ini menguntungkan bagi rakyat atau hanya kepentingan sebagian pihak, maka hal ini kembali kepada asumsi masing-masing.

Menurut penulis hal ini terkesan pemaksaan berkedok investasi, logikanya jika menguntungkan bagi masyarakat, niscaya tidak akan ada adu domba antara masyarakat dan aparat keamanan. Terlebih menteri investasi Bahlil Lahadalia jumpa pers hanya mengatakan sepihak, tapi dari pihak xinyi glass tidak ada yang menyatakan teken investasi senilai 175 triliun itu, sama halnya seperti menteri marves Luhut binsar Panjaitan waktu bilang kerja sama dengan Elon musk, tapi hanya melakukan kesaksian sepihak tanpa ada kesaksian pers dari Elon musk. sebenarnya kalau itu benar nyata adanya, apa susahnya berdampinga, lalu jumpa pers bersama. Namun hal ini hanya pandangan penulis saja, tentu yang paling tau pihak mereka yang menjalankan dan Tuhan yang menyaksikan.

Antara pendatang atau penduduk asli pribumi

Melihat letak geografisnya Pulau Rempang adalah salah satu pulau yang berada di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau Pulau ini berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam. Pulau Rempang memiliki luas sekitar 16.583 hektar, terdiri dari dua kelurahan, yaitu Rempang Cate dan Sembulang dari jumlah tersebut, ternyata terdapat tiga suku asli Rempang yang berada di 16 kampung tua Melayu yang sudah bermukim lebih dari 100 tahun. Sedangkan untuk jumlah penduduknya menurut laporan data Badan Pusat Statistik (BPS), Pulau Rempang dihuni oleh 7.512 penduduk.

Melihat latar belakang penduduk Rempang, tentu tidak bisa dikatakan 100 persen penghuni Rempang pribumi asli, hal ini seolah membenarkan pernyataan salah seorang menteri, bahwa penduduk Rempang adalah pendatang, bahkan kehadiran mereka lebih lambat dari kontrak proyek besar hasil kerjasama pemerintah dan investor yang notabennya investor asing beberapa tahun silam sebelum mereka. Namun jika melihat fakta lapangan, antara pernyataan dan sejarah history, seolah dua kubu yang saling berlawanan, timbul satu pertanyaan apakah bisa sejarah di manipulasi, sedangkan data dan bukti sudah terpampang menggambarkan jelas sebuah kejadian napak tilas peradaban, namun seolah di kaburkan seperti misteri yang tak terpecahkan.

Benarkah penduduk Rempang pribumi asli ataukah hanya pendatang, melihat banyak pernyataan dan ditambah berbagai bukti yang saling menguatkan, seperti mengisyaratkan sebuah kebenaran. Menurut salah seorang warga Rempang, salah satu bukti bahwa masyarakat telah lama menempati pulau tersebut adalah data pemilu, menurutnya, selama ini masyarakat di sana selalu masuk dalam pendataan pemerintah untuk pesta demokrasi lima tahunan tersebut. “Kalau mereka bilang (Pulau Rempang) belum lama di tempati bagaimana mungkin surat suara yang katanya tanpa penghuni bisa masuk dalam penghitungan”. Hal senada pun di jelaskan dalam Jurnal Kepulauan Hindia’ karya Newbold tahun 1849 berjudul ‘Aku di Malaka’, disebutkan masyarakat di Pulau Rempang serupa dengan penduduk di wilayah Kesultanan Djohor atau Malaysia saat ini. Dalam Memorandum Gubernur pertama Malaka, Johan van Twist, setelah ia menyerahkan pemerintahan kepada Jeremias van Vlicth pada tahun 1642, Newbold menemukan sejumlah fakta tentang warga asli Pulau Rempang. Warga Pulau Rempang disebutkan sebagai suku asli di sana. Dalam manuskrip lama yang tersimpan di Perpustakaan Leiden Belanda dari tahun 1642. Pulau Rempang sudah tercatat berpenduduk Bangsa Melayu. Di tambah lagi penjelasan dalam Kitab Tuhfat An-Nafis, pada masa perang Riau I (1782-1784) melawan Belanda, penduduk setempat (Rempang) menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek Raja Ali Haji. Kemudian, dalam Perang Riau II (1784-1787), mereka di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah, ikut berjuang melawan untuk mengusir Belanda dari Nusantara. Mereka sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 di masa Pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I dan dari sinilah, keturunan prajurit atau laskar Kesultanan Riau Lingga berasal, melihat hal ini, dapat di katakan nenek moyang mereka adalah suku asli Rempang (suku Melayu) dan sebagai pejuang.

Melihat ulasan di atas, seharusnya pemerintah harus mengambil langkah bijak selaku pemangku kekuasaan, alangkah lebih baiknya sistem penataan pembangunan harus di koreksi dan di perbaiki. Investasi ini sangatlah penting, supaya bisa bersaing dalam kancah internasional, mengingat dampak besar yang akan di dapat, akan tetapi bukan hanya sektor ekonomi yang di kedepankan, alangkah lebih baik bagi warga yang menerima dan setuju di relokasi maka berikan hak hak mereka dengan baik, jangan hanya wacana tanpa bentuk nyata, sosialisasi yang baik pun tak boleh di abaikan, transparansi pun harus dilakukan sehingga tak ada dusta antara penguasa dan rakyat biasa. Namun jika sebagian warga bersikukuh tetap tinggal di tempat tersebut maka sebaiknya merubah sistem penataannya, masukan mereka sebagai sasaran dalam rencana proyek tersebut agar tak ada kesenjangan dan tak ada bekas luka sosial bagi masyarakat. Dengan hal ini maka di samping sektor industri dan destinasi wisata, pengunjung pun mendapatati destinasi edukasi (pelajaran), bahwa di Indonesia masih ada salah satu suku pribumi asli, yakni suku melayu, yang di rawat dan dijaga dengan baik oleh pemerintah sebagai pemangku kekuasaan. (Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

306 Komentar