PN Jakpus Tolak Gugatan Perdata Terhadap Gibran Rakabuming, Ini 4 Pertimbangan Hakim

JAKARTA, PERKARANEWS.COM – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan perdata yang diajukan H.M. Subhan, S.H., M.H. terhadap Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

 

Putusan tersebut dibacakan melalui Putusan Sela Nomor 583/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst dalam sidang yang digelar secara online, Senin (22/12/2025). Majelis Hakim yang diketuai Budi Prayitno, S.H., M.H. mengabulkan eksepsi para tergugat dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Dalam amar putusannya, majelis hakim juga menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp418.000.

 

Bacaan Lainnya

Juru Bicara PN Jakarta Pusat, Sunoto, S.H., M.H., secara resmi menjelaskan bahwa putusan sela tersebut pada hakikatnya merupakan putusan akhir karena menyangkut kompetensi absolut pengadilan.

 

“Karena amar putusannya menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini, maka putusan tersebut mengakhiri pemeriksaan perkara,” ujar Sunoto kepada awak media.

 

Meski demikian, Sunoto menegaskan bahwa pihak yang tidak puas tetap memiliki hak untuk menempuh upaya hukum sesuai ketentuan perundang-undangan.

 

“Tentu pihak yang tidak puas masih dapat mengajukan upaya hukum sesuai dengan aturan yang berlaku,” tambahnya.

 

Sunoto memaparkan, terdapat empat pertimbangan hukum utama yang mendasari majelis hakim menyatakan PN Jakarta Pusat tidak berwenang. Pertama, substansi gugatan mempersoalkan Keputusan KPU yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

 

“Berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, kewenangan untuk memeriksa sengketa tersebut berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Penggunaan dalil perbuatan melawan hukum tidak mengubah substansi sengketanya,” jelas Sunoto.

 

Kedua, perkara tersebut berkaitan dengan sengketa pemilu yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

 

“Undang-undang pemilu mengatur mekanisme khusus penyelesaian sengketa pemilu melalui Bawaslu dan PTUN, bukan melalui Pengadilan Negeri,” katanya.

 

Ketiga, gugatan juga menyentuh status Wakil Presiden yang telah dilantik, sehingga tidak dapat digugat melalui mekanisme perdata.

 

“Berdasarkan Pasal 7A dan 7B UUD 1945, Wakil Presiden hanya dapat dipersoalkan melalui mekanisme impeachment oleh MPR, bukan melalui gugatan perdata,” ujar Sunoto.

 

Keempat, majelis hakim menolak dalil ‘teori residu pengadilan’ yang diajukan penggugat.

 

“Penggugat sebelumnya telah mengajukan gugatan serupa ke PTUN Jakarta dengan Nomor 264/G/2025/PTUN.JKT dan telah ditolak. Teori residu pengadilan tersebut tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia,” tegasnya.

 

Dalam putusannya, majelis hakim juga menegaskan sejumlah prinsip hukum penting, di antaranya,

 

Kompetensi absolut bersifat memaksa (dwingend recht) dan tidak dapat disimpangi;

Hakim wajib menyatakan tidak berwenang secara ex officio sebagaimana diatur Pasal 134 HIR;

Substansi perkara menentukan kompetensi, bukan dalil hukum yang digunakan penggugat;

Penolakan di satu forum tidak menjadikan forum lain yang tidak berwenang menjadi berwenang.

Putusan tersebut didasarkan pada sejumlah dasar hukum, antara lain Pasal 134 HIR, Pasal 132 Rv, Pasal 47 UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 467–468 UU No. 7 Tahun 2017, Pasal 7A–7B UUD 1945, serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 620 K/Pdt/1999.

 

Dengan demikian, perkara gugatan Subhan terhadap Gibran Rakabuming Raka dan KPU RI secara resmi berakhir di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (AR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *