JAKARTA, PERKARANEWS.COM – Persidangan dugaan korupsi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta kembali digelar dan terbuka untuk publik. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2025), menghadirkan saksi ad decharge yang justru memunculkan banyak pertanyaan baru.
Dua saksi, Salsa Hanifa Ramadani dan Martin Maulia, memberikan keterangan dimuka persidangan. Sementara penasihat hukum terdakwa Iwan Henry Wardhana, Ezar Ibrahim, menegaskan kliennya tidak pernah menerima maupun menyerahkan uang tunai.
Saksi Salsa Bantah Ada Tas Misterius
Dalam keterangannya, Salsa menegaskan dirinya tidak pernah melihat terdakwa membawa tas berisi uang usai makan di sebuah rumah makan Padang.
“Saya tidak melihat, Mas Iwan membawa tas plastik usai makan,” tegas Salsa di hadapan majelis hakim.
Keterangan ini dinilai krusial karena jaksa sebelumnya menyinggung dugaan adanya tas berisi uang yang disebut-sebut terkait kasus tersebut.
Martin Beberkan Kejanggalan Sidak
Saksi Martin yang dikenal sebagai pelaku seni juga buka suara memberi keterangan. Ia mengaku bingung dengan sikap sejumlah pejabat saat melakukan inspeksi mendadak (sidak).
“Saya juga bingung. Pak Arif sama Pak Keta sempat datang ke tempat saya untuk sidak ke lapangan. Tapi anak buah Pak Arif, namanya Mbak Vivi, malah ngirim WA ke saya, Pak Arif dan Pak Keta dengan Pak Valdo. Mereka bertiga, tapi tidak mau melihat muka saya dan Pak Victor,” jelas Martin.
Martin juga mengungkap percakapan internal yang menurutnya janggal, belakangan baru diketahui, percakapan tersebut terkait stempel-stempel sanggar.
“Pak Keta sempat menegur Pak Arif, kalau ada apa-apa saya nggak ikut-ikut ya,” tambahnya.
Ia menegaskan, sikap tersebut membuat dirinya merasa tertekan dan bingung, apalagi sidak itu terkait penindakan kasus-kasus di Dinas Kebudayaan.
Mendengar keterangan para saksi, kuasa hukum terdakwa Iwan Henry Wardhana, Ezar Ibrahim, langsung menegaskan kliennya tidak terlibat dalam dugaan transaksi yang disebut jaksa.
“Saksi Sabrina juga mengonfirmasi, tidak ada penyerahan uang di situ. Saksinya kemarin juga bilang nggak pernah ada terima uang cash dalam tas ransel. Katanya nggak pernah ada,” ujar Ezar.
Ia menambahkan, kerancuan muncul justru dari pihak lain dalam proses administrasi, bukan dari kliennya.
“Martini itu pelaku seni saja, dia melakukan pagelaran. Ternyata ditemukan proposal pagelaran bongsang, dua disposisi. Iwan tahu itu kesalahan, dan tanpa sepengetahuan beliau, keesokan harinya mereka berdua menghadap Sekda dan inspektorat,” jelasnya.
Menurut Ezar, perubahan disposisi kegiatan berbasis komunitas dilakukan tanpa sepengetahuan Iwan.
“Perubahan disposisi itu dilakukan di lantai berbeda, bahkan dengan cara yang tidak diketahui Pak Iwan. Selaku pimpinan, beliau tidak tahu,” katanya.
Ezar bahkan mengungkap adanya ketegangan di internal dinas saat kejanggalan terungkap.
“Begitu tahu ada kejanggalan, Pak Kadis marah dan memanggil yang bersangkutan (Keta alias M Fairza Maulana -red). Pak Keta sampai menangis, mengakui kesalahan, dan meminta maaf,” pungkasnya.
Seperti diketahui, dalam perkara ini tiga terdakwa yakni mantan Kepala Dinas Kebudayaan Iwan Henry Wardhana, eks Kabid Pemanfaatan M Fairza Maulana, serta owner EO GR Pro Gatot Arif Rahmadi, didakwa merugikan negara hingga Rp36 miliar dari kegiatan yang tercatat dalam APBD 2022–2024. (Yuko)
For the reason that the admin of this site is working, no uncertainty very quickly it will be renowned, due to its quality contents.