Hutan Tanaman Industri Meresahkan Warga, PT. BRS Mangkir dari Tanggung Jawab

PANGKALPINANG,PERKARANEWS.COM — Warga Kabupaten Bangka Barat (Babar) menggeruduk Gedung DPRD Bangka Belitung (Babel) pada Senin (8/9) untuk menyuarakan keresahan mereka terkait izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola oleh PT. BRS.

Audensi yang berlangsung di ruang Badan Musyawarah DPRD Babel ini dihadiri oleh Ketua DPRD Babel, Didit Srigusjaya. Warga mendesak agar izin HTI perusahaan tersebut segera dicabut, karena dinilai merugikan masyarakat dan tidak memiliki kejelasan tindak lanjut.

RDP Warga Bangka Barat bersama DPRD Babel

Rudi Fitrianto, perwakilan masyarakat Bangka Barat, mengungkapkan bahwa izin HTI yang diberikan kepada PT. BRS melalui SK nomor 336 tahun 2013, yang kemudian diperbarui dengan SK nomor 594 tahun 2021, telah menimbulkan dilema.

Pada awalnya, izin tersebut mencakup lahan seluas 66.460 hektare, namun luasan terbaru dalam SK 594 tidak diketahui dengan pasti oleh masyarakat.

Bacaan Lainnya

“Sudah jelas dalam surat yang dilayangkan di tahun 2018, ada enam poin syarat untuk dicabutnya izin konsesi itu. Tetapi hingga hari ini kami bertanya, apakah pemerintah daerah Provinsi Babel sudah menerima surat balasan terkait usulan pencabutan itu? Sampai hari ini saya yakin belum,” tegas Rudi.

Menurut Rudi, izin tersebut sangat merugikan masyarakat karena lahan yang diberikan kepada PT. BRS adalah lahan yang telah digarap oleh warga secara turun-temurun.

“Kita ini masyarakat telah berkebun dari zaman kakek kita dulu. Jauh sebelum izin konsesi diberikan kepada PT. BRS, kita sudah lebih dulu mengelola lahan itu,” ujarnya.

Salah satu Warga Suarakan Keluhan warga Bangka barat terkait HTI

Namun, Ironisnya, masyarakat setempat yang telah mengelola lahan selama bertahun-tahun tidak memiliki legalitas, sementara perusahaan dari Jakarta tiba-tiba diberikan izin pada tahun 2013.

Rudi juga menyoroti aksi sepihak PT. BRS yang berani masuk ke desa-desa, seperti Desa Kelabet dan Desa Cupet, tanpa berkoordinasi dengan kepala desa setempat.

“Tanpa koordinasi dengan kepala desa, mereka langsung membuat komitmen dengan masyarakat,” kata Rudi.

Bahkan, ia menyebutkan bahwa perusahaan berupaya mendesak pemerintah desa untuk memfasilitasi kegiatan mereka, namun desa tetap menolak.

Selain masalah legalitas dan sosial, Rudi juga mempertanyakan nilai ekonomis dari penanaman kayu yang menjadi fokus PT. BRS. Menurut informasi yang ia dapatkan, harga jual kayu per ton hanya Rp25.000,00.

“Bapak bayangkan, 1 hektare itu menghasilkan 130 ton kayu. Dengan harga Rp25.000,00 per ton, hasilnya hanya Rp3.250.000,00 per hektare untuk empat tahun,” jelasnya.

Perhitungan ini menunjukkan bahwa hasil dari penanaman kayu sangat tidak efisien, jauh dibandingkan jika warga menanam sawit yang dinilai lebih menguntungkan.

Masyarakat menuntut kepastian hukum atas rekomendasi pencabutan izin HTI yang telah disepakati sebelumnya. Rudi menyebutkan bahwa pada 3 Juli 2024, di DPRD Bangka Barat, Bupati telah menyatakan bahwa izin HTI tersebut akan segera dicabut. Namun, hingga saat ini belum ada surat resmi yang memastikan pencabutan tersebut.

“Kami butuh kepastian hukum. Dicabut itu seperti apa? Adakah surat dari pihak berwenang yang menyatakan izin PT. BRS dengan SK 594 dicabut?” tanya Rudi.

Kondisi ini membuat masyarakat merasa tidak ada kejelasan dan meminta agar permasalahan ini segera diselesaikan. Mereka berharap ada tindakan konkret dari pemerintah dan pihak terkait untuk mengakhiri dilema ini, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan merugikan masyarakat Bangka Barat.(Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *