JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula periode 2015–2016 di Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (30/9/2025).
Agenda sidang kali ini menghadirkan Alexander Marwata untuk dimintai keterangannya sebagai ahli hukum Tipikor, untuk Terdakwa Hans Falitha Hutama (Dirut PT Berkah Manis Makmur).
Usai persidangan, penasihat hukum terdakwa Hans Falitha Hutama, Soesilo Aribowo, kepada awak media menegaskan bahwa prinsip hukum progresif harus dijunjung tinggi. Menurutnya, majelis hakim memiliki kewenangan menilai kerugian negara secara mandiri tanpa harus terpaku pada audit lembaga tertentu.
“Semua keterangan mengenai abolisi dan kerugian negara itu sebenarnya dapat dinilai langsung oleh majelis hakim. tidak harus selalu bergantung pada BPKP atau lembaga lain. Prinsip hukum progresif menekankan pada keadilan dan kemanfaatan, bukan sekadar prosedural,” ujar Soesilo.
Ia menambahkan bahwa audit kerugian negara yang selama ini dijadikan dasar masih bersifat sementara.
“Audit kerugian negara itu ternyata belum final. Artinya, kalau majelis hakim dengan logika hukumnya melihat ada hal yang berbeda, tentu bisa mengambil keputusan yang lebih adil,” sambungnya.
Menurut Soesilo, apabila proses hukum dipaksakan berjalan tanpa kepastian, justru akan merugikan banyak pihak.
“Kalau proses ini terus dilanjutkan tanpa arah yang jelas, tentu akan banyak pihak yang dirugikan. Padahal, tujuan hukum itu harusnya membawa manfaat, bukan sekadar menghukum,” tegasnya.
Sementara saksi ahli hukum Tipikor, Alexander Marwata, turut memberikan keterangan penting terkait aspek perhitungan kerugian negara. Ia menegaskan bahwa hasil audit, baik dari internal maupun independen, tidak otomatis bersifat mengikat, melainkan hanya menjadi bahan pertimbangan.
“Kenapa hasil audit tidak serta-merta mengikat? Karena perhitungan itu tidak ditujukan untuk terdakwa tertentu. Audit internal bisa dijadikan acuan, bisa juga tidak. Bahkan audit independen pun hanya sebatas panduan, bukan kebenaran mutlak,” jelas Alexander di persidangan.
Lebih lanjut, ia mengutip putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang bagi penyidik untuk menghitung sendiri kerugian negara.
“Putusan MK sudah jelas, penyidik bisa kok menentukan kerugian negara. Nanti soal diterima atau tidak, itu kewenangan majelis hakim,” tegasnya.
Alexander juga mengingatkan bahwa angka kerugian negara tidak bersifat final dan dapat bergeser sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
“Hitungan awal bisa Rp500 miliar, tetapi setelah diteliti dengan bukti lain bisa berkurang menjadi Rp199 miliar. Jadi majelis hakim harus menggabungkan hasil perhitungan dengan fakta persidangan lain,” paparnya.
Ia pun menutup dengan penekanan bahwa majelis hakimlah yang memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan besarnya kerugian negara.
“Siapa yang menentukan besarnya kerugian negara? Pada akhirnya ya majelis hakim. Audit hanya menjadi panduan, bukan satu-satunya dasar,” pungkasnya. (Yuko)
Well-researched and balanced. Appreciate the effort behind this.