BANGKA BELITUNG,PERKARANEWS.COM– Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) online tahun 2025 yang digadang-gadang sebagai tonggak transparansi dan keadilan pendidikan di Indonesia, kini menghadapi ujian berat di Bangka Belitung. Meski bertujuan mulia untuk memastikan setiap anak memiliki akses pendidikan berkualitas sesuai prinsip Merdeka Belajar, implementasi SPMB online di Bumi Serumpun Sebalai justru menuai keluhan pahit dari para orang tua calon siswa.
Sistem yang seharusnya mempermudah, kini menjadi biang kerok kebingungan dan frustrasi massal. Wakil Ketua DPRD Provinsi Bangka Belitung, Edy Iskandar, menyoroti permasalahan ini dengan serius.
“Saya berharap SPMB 2025 dapat terlaksana dengan lancar, tanpa ada gangguan dari sistem ataupun akses internet, serta memudahkan orang tua yang ingin mendaftarkan anaknya masuk ke sekolah,” tegas Edy Iskandar pada Kamis (12/6).
Edy Iskandar memahami bahwa perubahan sistem akan selalu menimbulkan kendala. Oleh karena itu, ia mendesak agar panitia pelaksana dapat memberikan pendampingan atau bahkan membuka pos pelayanan pengaduan/pendampingan secara langsung, atau melalui aplikasi pesan seperti WhatsApp, bagi orang tua yang kesulitan mendaftarkan anaknya.
Keluhan nyata datang dari berbagai daerah. Anisa, seorang warga Kabupaten Bangka, menggambarkan carut marut yang terjadi di lapangan.
“Sebelumnya, saya bingung bagaimana meng-upload dan mengisi data. Setelah diisi, data malah berstatus pending atau tidak terbaca,” keluhnya, menggambarkan sistem yang dinilai tidak aktif sebagaimana mestinya.
Senada dengan Anisa, Santri, warga Pangkalpinang, turut mengungkapkan kekecewaannya.
“Terkadang sistemnya down atau tidak bisa diklik untuk mengisi data. Ada juga yang sudah mengisi data secara urutan sesuai aturan, tapi malah mengalami kendala yang sangat menyusahkan,” ujarnya, menyoroti inkonsistensi performa sistem yang merugikan orang tua.
Permasalahan semakin meruncing bagi orang tua yang tidak memiliki akses atau bahkan tidak menggunakan smartphone. Seorang ibu di Bangka Belitung yang ingin mendaftarkan anaknya ke SD mengaku bingung.
“Ketika datang ke sekolah, mereka harus meng-upload atau mendata anak saya secara online. Tapi saya tidak punya smartphone untuk masuk ke aplikasi atau web yang disediakan dinas,” tuturnya dengan nada putus asa.
Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa inovasi teknologi yang diharapkan justru menciptakan kesenjangan digital baru yang memperparah kesulitan masyarakat, khususnya bagi mereka yang kurang familiar dengan teknologi atau tidak memiliki perangkat yang memadai.
Permasalahan ini memerlukan perhatian serius agar pendaftaran sekolah online tidak lagi menjadi beban, melainkan solusi yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat di Bangka Belitung.(Yuko)