Kisah ‘Orang Rantai’ dari Bangka. Jejak Pahlawan dan Pejuang yang Dibuang ke Sawahlunto

BANGKA BELITUNG,PERKARANEWS.COM– Sejarah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Bangka Belitung tak hanya mencatat nama-nama besar seperti Depati Amir, tetapi juga menyimpan kisah pilu para pejuang yang dijuluki “Orang Rantai”. Mereka adalah simbol keberanian dan ketidakpatuhan yang harus membayar mahal dengan kerja paksa, bahkan hingga ke tanah seberang.

Kisah ini diungkapkan oleh Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, seorang sejarawan dan budayawan terkemuka penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia.

Puncak perlawanan Depati Amir, Pahlawan Nasional dari Bangka Belitung, berakhir dengan keputusan pahit. Berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda Nomor 3 pada tanggal 4 Februari 1851, Depati Amir dihukum dibuang seumur hidup ke Keresidenan Timor, di bawah pengawasan ketat polisi.

Namun, semangat perlawanan tak padam begitu saja. Pengikut terakhir Depati Amir, Oemang dan Roesin, di distrik Blinyu dan Sungailiat terus melanjutkan perjuangan mereka hingga Agustus 1864. Keadaan di Pulau Bangka kembali mencekam dan memanas akibat aksi-aksi mereka.

Bacaan Lainnya

Perburuan terhadap Oemang dan Roesin membuahkan hasil. Oemang berhasil ditangkap oleh Administratur Vosmaer pada 12 Agustus 1864, disusul penangkapan Roesin oleh Demang Abdul Sukur pada 15 Agustus 1864. Keduanya kemudian dipenjarakan di distrik masing-masing. Catatan Belanda mengungkap nasib tragis mereka. Oemang meninggal dua bulan setelah ditahan akibat sakit perut. Sementara itu, Roesin, karena dianggap selalu berhasil keluar dari sel tahanan (diduga memiliki kesaktian atau kelincahan luar biasa), oleh Landraad Bangka diperintahkan menjadi “Orang Rantean” atau Orang Rantai.

Pada 11 November 1867, berdasarkan Besluit pemerintah Hindia Belanda Nomor 10 tanggal 24 Agustus 1867, Roesin dikirim ke Padang dan dipekerjakan secara paksa di Tambang Batubara Sawahlunto. Inilah bentuk hukuman terberat bagi mereka yang dianggap sulit dikendalikan.
Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan “orang rantai” dari berbagai penjara di Batavia, Makassar, Bali, Madura, dan sebagian besar dari Pulau Jawa.

Tidak sedikit pula yang berasal dari penjara di Pulau Bangka. Mereka yang menjadi “orang rantai” umumnya adalah para “penjahat perang”, bromocorah (residivis), pelaku kriminal, dan terutama orang-orang yang memiliki kehebatan kanuragan dan kesaktian sehingga sulit untuk dipenjara dalam sel biasa.

Para “orang rantai” ini, yang oleh orang Belanda disebut Kettingganger, dirantai pada leher, tangan, dan kaki mereka, menjadikannya simbol kekejaman kolonialisme sekaligus ketangguhan para pejuang yang tak pernah menyerah. Kisah “Orang Rantai” dari Bangka ini menjadi pengingat akan pengorbanan besar para pahlawan dalam merebut kemerdekaan.(Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *