PANGKALPINANG,PERKARANEWS-Sebuah kontroversi besar mengguncang kasus korupsi tata niaga timah. Pakar lingkungan, Bambang Hero Saharjo, yang dipercaya untuk menghitung kerugian negara akibat kerusakan lingkungan, kini dipertanyakan kredibilitasnya. Senin,(6/1)
Menurut Ketua Umum Tempatan dan juga Advokat muda Bangka Belitung Perhitungannya yang terpaut jauh dari data produksi PT. Timah Tbk menjadi sorotan utama. Dalam persidangan, Bambang Hero Saharjo tidak mampu menjelaskan secara rinci metode perhitungan yang digunakan untuk menaksir kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah akibat kerusakan lingkungan.
“Lebih mengejutkan lagi, ia mengakui tidak membedakan antara kerugian yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan di dalam maupun di luar wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT. Timah Tbk dengan alasan “malas”,”ungkapnya
Andi juga menjelaskan faktanya, berdasarkan data produksi timah PT. Timah Tbk selama periode 2015-2022, perhitungan luas wilayah tambang yang sebenarnya jauh lebih kecil dibandingkan angka yang disampaikan oleh Bambang Hero Saharjo.
“Selisih yang sangat signifikan ini mengindikasikan adanya kesalahan fatal dalam perhitungan,”tegasnya
Selain itu, Kejaksaan Agung juga dinilai terlalu cepat menetapkan perusahaan smelter sebagai tersangka. Padahal, pembayaran yang dilakukan oleh PT. Timah Tbk kepada smelter telah sesuai dengan kontrak dan prosedur yang berlaku.
“Selain itu, sumber dana yang digunakan bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dari pinjaman bank yang telah dilunasi,”ujarnya
Ia juga menyimpulkan ketidaksesuaian antara perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Bambang Hero Saharjo dengan data produksi PT. Timah Tbk menimbulkan banyak pertanyaan.
“Kredibilitas hasil auditnya pun menjadi tanda tanya besar. Kasus ini menunjukkan pentingnya melakukan verifikasi yang cermat terhadap data dan perhitungan yang digunakan dalam sebuah perkara, terutama yang menyangkut kepentingan negara,”ujarnya
Selanjutnya Andi Kusuma memaparkan beberapa data dan fakat yang ia miliki sebagai dasar apabila terjadi kerugian negara akibat kerusakan lingkungan maka estimasi kerugian negara seharusnya dihitung adalah berdasarkan luas lubang galian yang hanya seluas 9.720 hektar bukan seluas 170.363.064 hektar.
“Seperti yang diketahui perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah disesuaikan pada hitungan periode tahun 2015-2022 (8 tahun). Atas periodik tersebut, PT. Timah Tbk telah melakukan produksi timah rata-rata sebesar 40.000 MT/ tahun. Apabila dikonversikan selama kurun waktu sebagaimana didalikan oleh Pihak Kejaksaan maka nilai produksi timah rata-rata sebesar 40.000 MT x periodiK (8 tahun) = 320.000 MT,”katanya
Ia juga mengungkapkan Bahwa berdasarkan persesuaian antara produksi IUP Darat dengan nilai produksi timah rata-rata selama kurun waktu 8 tahun didapatkan perhitungan : 50% x 320.000 MT = 160.000 MT.
“Mengenai produksi logam hasil kerjasama antara perusahaan smelter dan PT. Timah Tbk pada tahun 2019-2020 adalah sebesar 68.000 MT dan pada periode tahun 2015-2022 adalah sebanyak 228.000 MT,” paparnya
Selanjutnya Andi menyebutkan produksi logam tersebut menggunakan recovery peleburan timah senilai 94%. Sehingga perhitungan produksi bijih timah adalah, produksi Bijih Timah = 243.000 MT Sn
Selanjutnya, berdasarkan data rata-rata kekayaan cadangan di IUP PT. Timah Tbk sebesar 0,25 kg Sn/m³, maka konversi volume tanah yang harus digali untuk mendapatkan total bijih timah tersebut adalah senilai volume Tanah Digali = 972.000.000 M3.
Dengan asumsi kedalaman rata-rata penggalian tanah sebesar 10 meter, maka luas wilayah tambang yang diperlukan adalah senilai Luas Wilayah Tambang = = 97. 200 m2/ 9.720 Ha.
“Dikatakan bahwa pembayaran tersebut tidak semestinya dilakukan karena Illegal dari rakyat yang menambang di IUP PT.Timah Tbk dan ada lebih bayar (kemahalan) harga sewa smelter. UU No.3 Tahun 2020 Pasal 158, dinyatakan Illegal bila menambang tidak memiliki IUP. Sementara rakyat saat itu bekerja diwilayah IUP dan diberikan ijin oleh pemilik IUP,”cetusnya
Ia juga menjelasakan harga sewa smelter berdasarkan perjanjian kerjasama yang disepakati oleh kedua belah pihak yang tidak pernah terjadi wanprestasi.
“Sesuai peraturan Perundang Undangan yang berlaku, perbaikan lingkungan untuk eks Tambang namanya adalah reklamasi, dimana adalah menjadi kewajiban pemilik/pemegang WIUP dan sudah menempatkan jaminan reklamasinya,”pungkasnya.(Yuko)