PANGKALPINANG,PERKARANEWS — Pernyataan Kepala Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI), Amir Yanto yang mengatakan lima perusahaan smelter timah yang disita oleh Kejagung di Pulau Bangka akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar tidak rusak.
Adapun lima smelter yang disita tersebut CV VIP, PT SIP, PT TIN, PT SBS dan PT RBT dikarenakan terlibat dalam dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 yang diperkirakan merugikan negara 271 T akibat kerusakan lingkungan di Babel.
“Makanya kita adakan Rapat Koordinasi (Rakor) supaya harapannya adalah aset barang bukti ini beroperasional sehingga masyarakat maupun kegiatan ekonomi yang ada selama ini agar tetap bisa berjalan seperti sebelumnya,” ungkap Amir Yanto saat kofrensi pers, Selasa (23/4/2024) di kantor Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.
Pernyataan Amir Yanto ini mengundang reaksi pakar hukum Jhohan Adhi Ferdian, S.H.,M.H.,C.L.A. yang juga Ketua DPW Himpunan Konsultan Hukum Pertambangan Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Dosen Hukum Pertambangan Universitas Pertiba.
Saat dihubungi melalui sambungan telepon Jhohan Adhi Ferdian, mengatakan apa yang dikatakan oleh Kepala Badan Pemulihaan Aset Kejagung RI. Hari ini di kantor Gubernur Babel tidak sesuai dengan teori hukum yang berlaku dinegeri ini.
“Saya belum menemukan teori hukum apa yang dipakai jika asset pribadi milik orang lain yang disita tetapi belum diputuskan oleh hakim Pengadilan sebagai asset yang dirampas oleh negara malah dapat di pakai dan dikelola oleh pihak lain,” ungkapnya kepada awak media, Selasa (23/4/2024) siang setelah ramai diberitakan dibeberapa media.
Jhohan Adha, juga mempertanyakan bagaimana dengan keuntungan dari hasil pengelolaan itu ? Masuk sebagai kekayaan pribadi si pemilik perusahaan atau masuk kedalam kas negara ?
Dan bagaimana dengan kerugian dan hutang piutang yang timbul dari pengelolaan asset tersebut, apakah negara bersedia membayarnya ?
“Jangan samakan penyitaan dengan perampasan, karena hal itu berbeda secara kaidah hukum, penyitaan adalah mengambil barang atau benda dari kekuasaan pemegang benda itu hanya untuk kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian, penyitaan hanya memindahkan penguasaan barang dan belum terdapat pemindahan kepemilikian,” tegasnya.
Akademisi pakar hukum pertambangan asal Babel menyebutkan pemakaian smelter/asset pribadi/perusahaan milik “tersangka” yang diserahkan ke pihak lain dengan alasan solusi agar perekonomian masyarakat dapat stabil menurut saya tidak dapat dibenarkan.
“Pemakaian smelter/asset pribadi/perusahaan milik “tersangka” dari dugaan tindak pidana yang diserahkan ke pihak lain dan diputuskan hanya lewat rapat koordinasi menurut saya sangat “ngawur”, karena Pj Gubernur Babel adalah pemerintah sipil, bukan pemegang kekuasaan yudikatif, Pj Gubernur Babel tidak berwenangan masuk terlalu jauh kedalam ranah tindak pidana, dan rapat koordinasi bukan merupakan intrumen hukum,” cetusnya.(Yuko)