Oleh : Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan
PANGKALPINANG,PERKARANEWS — Pangkalpinang adalah salah satu pangkal di pulau Bangka yang dibentuk atas perintah Sultan Palembang, Susuhunan Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo (Tahun 1757-1776) kepada Abang Pahang Tumenggung Dita Menggala di Mentok dan kepada para depati di pulau Bangka sejak pengangkatannya sebagai sultan Kesultanan Palembang Darussalam pada Tanggal 17 September 1757 Masehi atau bertepatan dengan Tanggal 3 Muharram 1171 Hijriyah. Atas perintah Sultan kepada Abang Pahang Tumenggung Dita Menggala dan kepada Depati Panji berdirilah Pangkalpinang. Sebagai demang di Pangkal Pinang diangkatlah dari kerabat sultan dan salah satu demang pada masa awal pembentukan Pangkalpinang bernama Demang Jaya Layana yang pada waktu itu mengelola 7 tambang Timah dengan mempekerjakan 35 penambang dari Cina. Dalam laporan Thomas Horsfield, Report on the Island of Banka, Journal of the Indian Archipelago, Tahun 1848, halaman 797 dan 802 tambang Timah di distrik Pangkalpinang kemudian berkembang cukup banyak meliputi Ayer-Mangkok, Krassak, Krassak-Ulu, Bakung-bawa, Tahapsawun, Bankwang, Henglie, Butshak, Tshuntshit, Samwey, Hunseng, Tshing-peng, Tshin, Kayu-hessie, Suymouw, Siema, Kwang-tsie, Bakung, Bulu, Ayer-Udang, Gomuru, Wang-sing, Pangkul, Sungai-kurouw. Tambang-tambang Timah kecil (small mines) di distrik Pangkalpinang merupakan bagian paling penting dan produktif di pulau Bangka. 24 tambang di atas tersebar melalui bagian wilayah Messu (Mesu), Bakung, Kayu-Bessie (Kayubesi), Ayer-Mankok (Airmangkok) dan Bangkwang, dengan memperkerjakan sekitar 63 orang penambang (baik penambang pribumi Bangka maupun penambang orang-orang Tionghoa).
Toponimi atau sejarah penamaan wilayah geografis Pangkal Pinang secara historis dan filosofis menunjukkan arah cita-cita atau visi awal Pangkalpinang sejak didirikan. Pangkalpinang berasal dari kata generic “Pangkal” dan kata spesific “Pinang”. Pangkal dalam bahasa Melayu Bangka bermakna; pusat segala aktifitas dimulai (Pengkal) atau titik awal atau titik pangkal, kemudian pangkal juga berarti pelabuhan dan pusat pasar atau perniagaan (Pengkalen), dan pangkal juga berarti pusat distrik atau pusat pemerintahan (Pangkal). Sementara itu kata “Pinang” (areca chatecu), adalah nama sejenis pohon palma yang multi fungsi dan endemik tumbuh di wilayah geografis saat awal pangkal didirikan. Dalam dialek Hakka, Pinang disebut Pinkong, yang secara harfiah bermakna: “Berkembang dan Maju Secara Nyata”. Pada Tahun 1802 M/1217 H, nama Pinkong dijadikan sebagai nama mata uang picis Pangkalpinang (Pitis atau Picis van Pangkalpinang) dan hanya berlaku untuk wilayah dalam distrik Pangkalpinang.
Titik awal pendirian Pangkalpinang, oleh sultan Kesultanan Palembang Darussalam bertujuan untuk kepentingan ekonomis, politis, dan kepentingan sosial budaya. Dalam konteks ekonomis, Pangkal berfungsi sebagai tempat pertemuan berbagai aktifitas perekonomian masyarakat yang berbasis bahari (sea based culture) dengan perekonomian masyarakat berbasis darat (land based culture), karena pangkal umumnya didirikan pada tepi muara sungai dekat laut dan sungai biasanya terhubung ke wilayah-wilayah pedalaman yang menghasilkan beranekaragam hasil bumi. Lambat laun pertemuan dua basis kebudayaan tersebut membentuk Daerah Pusat Kegiatan, pusat pasar dan perdagangan. Pangkal juga dalam konteks ekonomi berfungsi sebagai pelabuhan pendukung (feeder point) yang merupakan pusat perdagangan lokal kecil melayani entrepot-entrepot dan pusat pengumpulan regional yang penting. Sungai Pangkalpinang atau sekarang bernama sungai Rangkui pada masa kesultanan Palembang menjadi sangat penting bagi pulau Bangka karena merupakan urat nadi bagi transportasi dan perekonomian, dan tentu saja pada bagian muara sungai berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul (feeder point). Muara sungai Pangkalpinang yang berada di sungai Merawang (sekarang disebut sungai Baturusa), posisinya berada di Pelabuhan Pangkalbalam berhadapan dengan wilayah laut Kalimantan atau Zee van Borneo, sebagai penghubung pulau Bangka dengan dunia luar. Jalur distribusi dan transportasi pengangkutan hasil-hasil bumi dan hasil pertambangan Timah dari berbagai wilayah di pulau Bangka menuju Pangkalpinang dari wilayah Utara, Barat dan Selatan serta Barat Daya dilakukan melalui sungai maupun jalan darat dan akan berakhir di pelabuhan pada Muara sungai Pangkalpinang. Untuk mewujudkan visi sejarah Pangkalpinang sebagai Pangkal yang berfungsi sebagai pelabuhan, maka pembangunan pelabuhan Pangkalbalam merupakan satu keharusan yang harus dilaksanakan, karena sebagai kota tempat pelabuhan, saat ini hampir 80 persen kebutuhan pulau Bangka dipasok melalui pelabuhan Pangkalbalam.
Dalam konteks politis, Pangkal berfungsi sebagai tempat kedudukan Demang yang diangkat langsung oleh sultan dari kaum kerabatnya, dan mereka ditugaskan mengawasi pajak Timah Tiban (seberat 50 kati) sebagai Tanda Raja dan demang juga bertugas mengawasi jalur distribusi Timah sebagai penghasilan utama Kesultanan. Pendirian Pangkal di pulau Bangka dalam konteks politik mempertegas kedudukan pulau Bangka sebagai wilayah sindang yang memiliki status merdeka atau bebas (vryheren). Kewajiban daerah sindang adalah mempertahankan wilayahnya apabila diserang oleh musuh. Sedangkan hukum adat yang berlaku untuk wilayah Sindang adalah hukum adat Sindang Mardika.
Dalam konteks kekinian secara politis kita harus lebih menata Pangkalpinang yang dalam tradisi sejarah politik dan pemerintahan adalah sebagai pusat politik dan pemerintahan serta sebagai ibukota dari zaman ke zaman. Penataan Pangkalpinang sebagai ibukota provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah keniscayaan agar ibukota propinsi dapat maju sejajar dengan ibukota-ibukota provinsi lainnya di Indonesia. Penataan kota di samping mempercantik tampilan kota juga memberikan kenyamanan dan berbagai fasilitas pendukung bagi masyarakat dan tamu yang datang ke Pangkalpinang. Sebagai kota bersejarah penataan kota dilakukan dengan membangun taman kota berbasis budaya dan pengembangan kawasan pusaka bersejarah civic centre dengan mengadaptasi berbagai bangunan bersejarah sebagai penanda kota serta mengembangkan dan memanfaatkannya dengan perpaduan antara fungsi heritage dan ekonomi pariwisata.
Dalam konteks sosial budaya, pangkal sebagai pusat pertemuan dua basis kebudayaan di pulau Bangka, kemudian berkembang menjadi kampung (native village) dan kampung besar (bigvillage) dalam kelompok wilayah batin dan depati. Pada perkembangan masyarakatnya, terjadi pembagian kerja dengan diferensiasi fungsi, hak dan tanggung jawab yang melahirkan kelompok-kelompok sosial dengan aktivitas sosial berupa interrelation dan social interaction antar warganya. Karakteristik interrelation dan social interaction kemudian terwujud ke dalam bentuk fisik (tangible) dan non fisik (intangible) yang membentuk Pangkalpinang. Secara filosofis merujuk pada pengertian kota secara leksikografis, sebenarnya Pangkalpinang yang didirikan pada masa itu sudah menunjukkan ciri pada pengertian kota sebagai pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, pusat kebudayaan dan pusat peradaban, apalagi dalam peta-peta lama bangsa asing kulit putih disebutkan Stockade of Pangkalpinang yang berarti Kota Pangkalpinang. Secara sosial budaya tantangan terberat pembangunan sosial budaya masyarakat Kota Pangkalpinang adalah membangun mentalitas masyarakat perkotaan menjadi masyarakat perkotaan yang berbudaya.
Perkembangan wilayah geografis Pangkalpinang dapat dipelajari dari sejarah perkembangan struktur tata ruang dan konsentris tempat tinggal masyarakatnya. Entitas penduduk yang menempati wilayah Pangkalpinang pada awalnya terletak pada pangkal atau pengkal pengumpul Timah dengan parit-parit Timahnya dan di sekitar sungai Pangkalpinang sebagai sarana kehidupan pada waktu itu. Pangkalpinang pada masa kesultanan Palembang lambat laun terus berkembang dengan pesat seiring dengan perjalanan sejarah dan aktifitas kehidupan masyarakatnya menjadi kampung, selanjutnya menjadi kampung besar, Pada masa Inggris (Tahun 1812-1816) Pangkalpinang dimasukkan dalam wilayah southeast division (divisi Tenggara) dan menjadi satu pusat distrik pemerintahan (bestuur) dan penambangan Timah (tin minjn) yang produktif. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (Tahun 1817), Pangkalpinang menjadi satu distrik dari sembilan distrik penghasil Timah yang produktif di pulau Bangka. Pada pertengahan Abad 19 atau Tahun 1848, penduduk yang tinggal di distrik Pangkalpinang berjumlah 6.694 jiwa atau sebesar 16,23 persen dari total penduduk pulau Bangka (41.246 jiwa). Penduduk distrik Pangkalpinang terdiri dari Bankanesen (pribumi Bangka orang Darat dan orang Laut) berjumlah 4.576 jiwa, Melajen (Melayu) berjumlah 251 jiwa, dan Chinesen (China) berjumlah 1.867 jiwa. Penduduk distrik Pangkalpinang tersebut tinggal di beberapa underdistrik, yaitu Bukit, Pangkalpinang, Mendobarat, Mendotimur, dan Gerunggang. Menelisik wilayah geografis distrik Pangkalpinang pada pertengahan abad 19 Masehi masa Hindia Belanda, menunjukkan bahwa wilayah distrik Pangkalpinang cukup luas dan sangat representatif serta strategis sebagai satu distrik di pulau Bangka yang kemudian berkembang menjadi ibukota Keresidenan Bangka Belitung.
Struktur tata ruang dan konsentris tempat tinggal masyarakat Pangkalpinang setelah masa kemerdekaan semakin menyebar dan meluas sesuai dengan pusat-pusat konsentris di atas. Keberadaan kampung-kampung dan konsentris tempat tinggal masyarakat Pangkalpinang terus berkembang dan berproses hingga saat ini sesuai dinamika perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budayanya hingga terbentuknya Kota Pangkalpinang seperti sekarang ini. Ruang wilayah dan konsentris masyarakat Pangkalpinang saat ini telah berkembang bahkan melampaui batas wilayah administratif Pangkalpinang dan merambah pada kawasan-kawasan ruang terbuka hijau, lahan konservasi bahkan meluas pada wilayah rawa-rawa dan resapan air sehingga saat ini menjadi permasalahan kota. Permasalahan terjadi karena ruang wilayah administratif yang tidak elastis (bersambung). (Yuko)