JAKARTA, PERKARANEWS.COM – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan putusan terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan Muhammad Yusuf Hadi, serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono dalam perkara kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).
Dalam sidang yang digelar Kamis (20/11/2025), Ketua Majelis Hakim Sunoto justru menyampaikan dissenting opinion yang menegaskan bahwa seluruh perbuatan para direksi ASDP adalah keputusan bisnis, bukan tindak pidana korupsi. Sunoto menyatakan bahwa berdasarkan seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan, unsur kerugian keuangan negara tidak terbukti secara meyakinkan.
“Para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag,” tegas Sunoto.
Ia menegaskan bahwa pengadilan tidak dapat serta-merta mengkriminalisasi kebijakan korporasi, terlebih bila keputusan tersebut diambil dengan mekanisme internal yang sah, menggunakan kajian teknis, dan bertujuan untuk kepentingan perusahaan.
Sunoto menjelaskan bahwa tindakan Ira Puspadewi dan para direksi lainnya justru mencerminkan proses bisnis yang sah dan dilindungi oleh asas Business Judgement Rule. Menurutnya, para terdakwa telah:
* beriktikad baik,
* bertindak hati-hati,
* tanpa mens rea,
* serta tidak memiliki motif untuk merugikan keuangan negara.
Ia memperingatkan bahwa menghukum para terdakwa dalam kondisi faktual yang demikian dapat berdampak serius bagi iklim investasi dan tata kelola korporasi nasional.
“Direktur akan menjadi sangat takut mengambil keputusan bisnis yang mengandung risiko meskipun keputusan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan perusahaan. Profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN bila keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasi,” ujar Sunoto.
“Hal ini pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional, karena BUMN memerlukan keberanian untuk berkembang agar mampu bersaing di tingkat global,” sambungnya.
Usai persidangan, para terdakwa bersama kuasa hukum Soesilo Aribowo dan Rekan menyatakan menghormati putusan majelis, tetapi menegaskan akan mempelajari kemungkinan upaya hukum berikutnya.
Mereka menyoroti bahwa dissenting opinion ketua majelis sejalan dengan argumentasi mereka sejak awal bahwa perkara ini merupakan persoalan kebijakan korporasi, bukan tindak pidana.
Terdakwa Ira Puspadewi bersama dengan 2 terdakwa lainnya menyampaikan terimakasihnya juga mohon doanya, serta himbauan bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum untuk profesional BUMN agar kedepannya terobosan baru dapat diwujudkan tanpa kriminalisasi.
“Kami mohon doanya, dan kepada bapak Presiden kami mohon perlindungan hukum bagi profesional muda BUMN, agar terobosan-terobosan baru kami kedepannya tidak ada kriminalisasi lagi, terima kasih,” tegas Ira.
Pihak kuasa hukum menekankan bahwa fakta di persidangan menunjukkan para terdakwa memimpin ASDP dengan prestasi dan kinerja yang terukur, sehingga seharusnya tidak dikriminalisasi.
“Kami menghargai putusan, tetapi dissenting opinion Ketua Majelis mempertegas bahwa para terdakwa telah bertindak dalam koridor tata kelola dan manajemen risiko yang wajar. Itu fakta yang terungkap di persidangan,” ujar Soesilo.
Selain dissenting opinion, majelis hakim juga menguraikan sejumlah poin pertimbangan yang relevan bagi para terdakwa.
Majelis mengakui prestasi dan transformasi besar yang dilakukan para terdakwa, antara lain:
* digitalisasi tiket yang menekan kebocoran pendapatan,
* kinerja ASDP tetap mencetak laba saat pandemi COVID-19,
* pembangunan kantor pusat yang representatif,
* pengembangan model kawasan ekonomi (city development).
“Meskipun tidak menghapus pertanggungjawaban pidana, hal tersebut harus dipandang sebagai wujud dedikasi para terdakwa sebagai profesional.” ujar majelis dalam sidang.
Majelis juga menegaskan bahwa pemidanaan tidak boleh berorientasi pada pembalasan.
“Kebijakan terhadap para terdakwa tidak boleh semata-mata bersifat retributif.” tambahnya.
Majelis mengonfirmasi telah membaca seluruh pendapat Amicus Curiae (sahabat peradilan) dari akademisi dan praktisi. Namun, majelis menilai pendapat tersebut tidak menghilangkan unsur melawan hukum menurut mayoritas majelis.
“Narasi para ahli berusaha membangun argumen bahwa akuisisi adalah aksi korporasi dengan pertimbangan bisnis strategis.”ucapnya
Majelis mencatat kesaksian mengenai integritas, kepemimpinan, dan rekam jejak profesional para terdakwa. Selain itu Majelis menyebut tidak memperoleh dokumen lengkap tentang nilai fisik kapal yang diakuisisi.
“Majelis hakim tidak memperoleh dokumen yang memberikan keterangan yang jelas mengenai berapa nilai fisik kapal-kapal tersebut.”ucap majelis.
Dalam pembacaan putusannya ketiga majelis hakim terdapat perbedaan pendapat, dimana suara majelis Hakim Ketua Sunoto menjadi pendapat minoritas sehinggan persidangan tetap dengan Putusan mayoritas menjatuhkan pidana:
* Ira Puspadewi: 4 tahun 6 bulan penjara + denda Rp500 juta (subsider 3 bulan)
* Yusuf Hadi dan Harry MAC: masing-masing 4 tahun penjara + denda Rp250 juta (subsider 3 bulan)
Vonis yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan JPU KPK, yakni 8 tahun 6 bulan untuk Ira dan 8 tahun untuk dua terdakwa lain.
Majelis hakim terdiri dari Sunoto selaku ketua serta hakim anggota Nur Sari Baktiana dan Mardiantos.
Atas putusan yang telah dibacakan, para terdakwa maupun JPU KPK menyatakan pikir-pikir untuk menentukan langkah hukum berikutnya, termasuk kemungkinan mengajukan banding.
Para terdakwa menyampaikan bahwa mereka akan mempelajari putusan secara seksama, termasuk argumentasi dissenting opinion yang menilai mereka seharusnya bebas. Mereka menegaskan komitmen untuk menjaga profesionalitas serta harapan agar putusan akhir kelak dapat mencerminkan bahwa keputusan bisnis yang sah tidak boleh dikriminalisasi. (AR)












