Sidang Korupsi ASDP, Kuasa Hukum Pertanyakan Validitas Bukti Percakapan Elektronik Jaksa

JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Tim penasihat hukum terdakwa Gunadi Wibakso membacakan duplik atau tanggapan atas replik Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025), dengan agenda pembacaan duplik oleh tim kuasa hukum terdakwa.

 

Dalam duplik tersebut, penasihat hukum Gunadi Wibakso menegaskan bahwa seluruh tuduhan jaksa tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak sejalan dengan fakta-fakta persidangan.

 

Bacaan Lainnya

“Kami secara tegas menyatakan keberatan terhadap seluruh dalil dalam replik penuntut umum, karena alasan-alasan tersebut tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan,” ujar penasihat hukum Gunadi.

 

Tim kuasa hukum menyatakan bahwa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain sebagaimana didakwakan oleh jaksa tidak terbukti. Mereka menilai seluruh keputusan operasional kapal berada dalam kewenangan internal perusahaan, bukan kebijakan pribadi terdakwa.

 

“Semua operator menyampaikan usulan kegiatan kapal, dan otoritas yang menetapkan jadwal serta transaksi adalah manajemen perusahaan, bukan terdakwa,” tegas kuasa hukum.

 

Selain itu, tim pembela menilai jaksa keliru menafsirkan ketentuan hukum, terutama terkait Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

“Jaksa keliru memahami kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan. Sesuai Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Keuangan Negara, kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tunduk pada mekanisme korporasi, bukan pada rezim keuangan negara,” papar kuasa hukum dalam pembacaan duplik.

 

Mereka juga mempertanyakan validitas sejumlah alat bukti yang digunakan jaksa, termasuk bukti percakapan elektronik yang belum diverifikasi secara forensik.

 

“Bukti percakapan yang dijadikan dasar oleh penuntut umum tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, karena tidak diperoleh sesuai ketentuan hukum,” imbuhnya.

 

Tim pembela menegaskan bahwa tidak ada kerugian keuangan negara yang nyata dalam perkara ini. Seluruh kebijakan yang dilakukan terdakwa disebut bertujuan untuk kepentingan korporasi, bukan keuntungan pribadi atau pihak tertentu.

 

“Seluruh kebijakan yang dilakukan terdakwa semata-mata untuk kepentingan perusahaan, bukan untuk keuntungan pribadi atau pihak lain,” ujar penasihat hukum.

 

Dalam kesempatan yang sama, usai persidangan kepada awak media, Ketua tim penasihat hukum terdakwa, Soesilo Aribowo, menyoroti dua hal penting dalam pembacaan duplik, yakni penerapan undang-undang baru BUMN dan kewenangan penghitungan kerugian negara.

 

Menurutnya, penerapan undang-undang baru BUMN menjadi relevan dalam perkara ini karena berkaitan langsung dengan unsur kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

 

“Kalau ini tidak disampaikan di dalam duplik, rasanya kawan-kawan di DPR bikin undang-undang baru itu apa maksudnya? Mau tidak mau mestinya dalam rangka penegakan hukum, undang-undang BUMN baru itu mutlak harus diberlakukan,” ujar Soesilo.

 

Ia juga menegaskan bahwa pendapat yang menolak penerapan undang-undang baru dalam perkara ini keliru, karena hukum mengenal asas transitoir atau asas peralihan yang memungkinkan penerapan aturan baru secara retroaktif.

 

“Pendapat yang mengatakan undang-undang baru tidak bisa diberlakukan itu keliru. Ada asas transitoir, yaitu asas peralihan, yang memungkinkan berlakunya secara retroaktif sebagaimana juga diatur dalam KUHP kita,” jelasnya.

 

Lebih lanjut, Soesilo menekankan bahwa satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan deklarasi dan perhitungan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

 

“Tetap kami mengatakan, yang melakukan deklarasi itu yang berwenang hanyalah BPK. Silakan menghitung dengan cara apa pun, tetapi itu pun ada batasannya. Orang yang menghitung harus ahli, bersertifikasi, dan menggunakan metode investigasi. Tidak bisa sembarang orang, bahkan akuntan sekalipun, menghitung kerugian negara tanpa dasar itu,” tegasnya.

 

Ia juga menilai hasil audit atau perhitungan yang dilakukan lembaga lain seperti KPK tidak dapat dijadikan dasar hukum karena tidak memenuhi syarat keahlian dan prosedur formal.

 

“Cukuplah kalau kita berpedoman tegak lurus pada hal itu. Saya optimis, selain dari adanya aturan undang-undang yang baru, juga dari beberapa unsur yang dituduhkan kepada para terdakwa itu semuanya bisa terjawab dengan baik,” pungkasnya.

 

Diketahui, perkara ini menjerat mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Caksono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan 2020–2024), dan Muhammad Yusuf Hadi (Direktur Komersial dan Pelayanan 2019–2024).

 

Ketiganya didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,25 triliun terkait kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh ASDP pada 2019–2022. (Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan ke antalya aquapark Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 Komentar

  1. I think other web site proprietors should take this website as an model, very clean and fantastic user friendly style and design, let alone the content. You’re an expert in this topic!