JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (6/11/2025). Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari tiga terdakwa, yakni Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan Muhammad Yusuf Hadi.
Ketiganya merupakan mantan petinggi ASDP yang didakwa menyebabkan kerugian negara hingga Rp1,25 triliun dalam proses akuisisi saham PT Jembatan Nusantara pada periode 2019–2022. Dalam perkara bernomor 68/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut masing-masing terdakwa dengan hukuman berat:
Ira Puspadewi dituntut 8 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan.
Harry Muhammad Adhi Caksono dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan.
Muhammad Yusuf Hadi dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan.
Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, membacakan langsung nota pembelaan pribadinya yang berjudul “Mari Hentikan Kriminalisasi dan Framing Korupsi pada Profesional BUMN Negeri Ini.”
Dalam pledoinya, Ira menegaskan dirinya tidak pernah melakukan korupsi dalam proses akuisisi PT Jembatan Nusantara senilai Rp1,272 triliun. Ia menilai tuduhan kerugian negara yang disampaikan jaksa adalah hasil rekayasa dan framing yang tidak berdasar.
“Kapal Royal Nusantara berbobot 6.000 GT dengan valuasi Rp121 miliar dihargai hanya Rp12,4 miliar sebagai besi tua. Itu tidak masuk akal,” ujar Ira di hadapan majelis hakim.
Menurutnya, penilaian aset yang dijadikan dasar dakwaan dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki sertifikat penilai publik, sehingga hasilnya tidak sah secara hukum. Ia menegaskan bahwa kapal-kapal PT JN masih produktif dan laik laut, bukan besi tua seperti yang disebut dalam dakwaan.
Dalam pembelaannya, Ira menegaskan akuisisi PT JN, justru memberikan keuntungan besar bagi negara. ASDP, kata dia, memperoleh 53 kapal dengan izin komersial lengkap hanya dengan nilai Rp1,272 triliun, sementara total aset kapal yang diperoleh mencapai Rp2,09 triliun.
“ASDP mendapat perusahaan utuh dengan aset kapal bernilai Rp2,092 triliun hanya seharga Rp1,272 triliun. Secara nominal, ASDP dan negara justru untung,” tegasnya.
Selain itu, akuisisi tersebut memperkuat posisi ASDP dalam menjaga layanan penyeberangan di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang kerap tidak tersubsidi oleh pemerintah.
Ira juga membantah narasi jaksa yang menyebut dirinya telah bersekongkol dengan pemilik JN sejak 2017. Ia menegaskan seluruh proses akuisisi dilakukan secara transparan, profesional, dan disertai pendampingan lembaga resmi seperti BPK dan BPKP.
“Semua dakwaan itu adalah hasil framing yang memutarbalikkan fakta. Saya tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum,” ujar Ira tegas.
Ira turut memaparkan berbagai prestasi dan inovasi selama masa kepemimpinannya, di antaranya:
Digitalisasi tiket di 35 pelabuhan ASDP dan 19 pelabuhan non-ASDP;
Penerapan Ship Management System (SMS) dan sistem pengawasan bahan bakar (SIEMON);
Pembangunan dermaga Merak yang terbengkalai selama 18 tahun;
Peluncuran layanan eksekutif Merak–Bakauheni yang memberi kontribusi laba signifikan;
Revitalisasi pelabuhan dan kapal agar lebih bersih dan nyaman;
Pembangunan gedung kantor pusat berkonsep green building;
Pengembangan kawasan wisata terpadu Labuan Bajo dan Bakauheni Harbour City.
“Kami bekerja dengan filosofi for the best interest of the company. Semua dilakukan demi kepentingan terbaik ASDP dan masyarakat,” ucapnya.
Dalam bagian akhir pledoi, Ira menyoroti fenomena kriminalisasi terhadap profesional BUMN yang bekerja dengan integritas. Ia menyebut kasus yang menjeratnya serupa dengan apa yang pernah dialami RJ Lino (Pelindo), Karen Agustiawan (Pertamina), dan Nur Pamudji (PLN).
“Profesional yang bekerja dengan hati dan integritas kini justru dijadikan sasaran. Fitnah seperti ini lebih keji dari pembunuhan,” ujarnya dengan suara bergetar.
Ia menutup pledoinya dengan kisah haru tentang perjalanan hidupnya dan nilai kejujuran yang diwariskan ayahnya.
“Saya tidak pernah memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Saya hanya ingin bekerja jujur dan memberi yang terbaik bagi negeri,” tuturnya.
Sementara itu, penasehat hukum terdakwa Ira Puspadewi, Soesilo Aribowo, menyatakan bahwa perkara ini seharusnya tidak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
“Persoalan ini, menurut para terdakwa, mereka merasa dikriminalisasi. Karena sejatinya ini adalah aksi korporasi biasa, akuisisi saham yang kemudian digeser ke arah tindak pidana korupsi. Itu yang mereka rasakan,” ujar Soesilo usai sidang keoada redaksi.
Menurut Soesilo, fakta-fakta persidangan justru membantah seluruh tuduhan penyertaan modal sebagaimana disebut dalam dakwaan jaksa.
“Secara fakta, seluruh penyertaan modal itu terbantahkan by data. Jadi bukan hanya omongan saksi, semua ada bukti tertulisnya,” tegasnya.
Ia menilai jaksa keliru memahami konsep akuisisi saham, karena akuisisi berbeda dengan pembelian aset atau kapal secara langsung.
“Pemahaman dalam tuntutan itu tidak mendasar. Mereka tidak memahami apa yang dimaksud dengan akuisisi saham. Ini bukan pembelian kapal, tapi pembelian saham perusahaan,” kata Soesilo.
Lebih lanjut, Soesilo menyebut bahwa kalaupun ditemukan potensi kerugian, itu merupakan kerugian perusahaan, bukan keuangan negara, sehingga tidak dapat dijerat dengan pasal-pasal Tipikor.
“Kalaupun dinyatakan ada kerugian, itu kerugian perusahaan, bukan kerugian negara. Maka tidak bisa didakwakan dengan Undang-Undang Tipikor. Wilayahnya adalah perdata,” jelasnya.
Soesilo juga menegaskan bahwa seluruh transaksi telah dilakukan sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan aturan hukum yang berlaku.
“Semua sudah digunakan sesuai undang-undang. Jadi tidak bisa lagi berargumentasi seolah ini pelanggaran. Ini murni aksi bisnis yang sah,” pungkasnya.
Sidang pembacaan pledoi ini penting dalam perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara. Baik terdakwa Ira Puspadewi maupun tim kuasa hukumnya menegaskan bahwa tidak ada unsur korupsi dalam transaksi tersebut, melainkan aksi korporasi legal yang justru memberi manfaat besar bagi negara.
Majelis hakim akan melanjutkan sidang dengan agenda replik dari jaksa penuntut umum pada pekan berikutnya. (Yuko)












