MOU Sawindo Kencana Dinilai Penuhi Syarat Perjanjian Perdata, Tapi Status Hukum Tanah Negara Jadi Kunci!

PANGKALPINANG, PERKARANEWS.COM – Polemik berkepanjangan terkait pengelolaan lahan sawit di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT Sawindo Kencana kembali diulas tuntas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Babel. Kali ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bangka Barat, Angga Yuda Prawira, memberikan pandangan krusial dari perspektif pertanahan dan hukum perdata.

 

Angga Yuda Prawira menegaskan bahwa permasalahan inti yang melibatkan desa dan PT Sawindo Kencana terbagi menjadi dua aspek:

• Pemanfaatan Lahan: Penggunaan lahan oleh PT Sawindo berdasarkan MOU atau SPK (Surat Perjanjian Kerjasama) antara para pihak.

• Klaim Hukum Lanjutan: Klaim pemerintah desa terkait legalitas lahan tersebut untuk dijadikan aset desa.

 

Menanggapi keberadaan MOU bagi hasil yang kini dipermasalahkan keabsahannya, Kepala BPN Babar secara sepintas menilai perjanjian tersebut telah memenuhi unsur sahnya sebuah perikatan perjanjian berdasarkan hukum perdata.

 

“Kalau perjanjian itu didasarkan pada Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), Pasal 1324 [kemungkinan maksudnya 1320-1338 terkait perjanjian]. Di situ disebutkan sekurang-kurangnya terjadinya perjanjian sah itu ada tiga faktor: subjeknya, objeknya, dan kesepakatan,” ujar Angga.

 

Ia melihat bahwa ketiga unsur tersebut terpenuhi dalam MOU yang dibuat pada 2018 tersebut:

• Subjek: Para pihak (PT Sawindo dan Pemerintah Desa) hadir.

• Objek: Lahan perkebunan yang terlapor lokasinya melalui peta, meski berada di luar HGU.

• Kesepakatan: MOU diketahui dan disetujui oleh Kepala Dinas Pertanian Provinsi.

 

“Di dalamnya, itu ada hak dan kewajiban. Kewajiban PT adalah membagi hasil, haknya adalah PT berhak mengelola lahan tersebut hingga berakhirnya 2030,” jelasnya.

 

Meski perjanjiannya secara perdata dinilai kuat, Angga Yuda Prawira mengakui bahwa polemik muncul pada status hukum lahan yang menjadi objek MOU tersebut.

 

Ia menggarisbawahi pernyataan dari beberapa pihak—termasuk APH Bangka Barat—yang menyebut penggunaan lahan negara di luar HGU sebagai ‘haram’ dan ilegal.

 

“Sejak awal diskusi itu dimulai, saya sudah bilang bahwa ini bukan kewenangannya BPN. Karena tanahnya belum sebagai tanah terdata, artinya di luar HGU,” tegasnya.

 

BPN, menurutnya, berwenang mengurus keperdataan tanah (Hak Milik, HGU, HGB) yang sudah terdata dan bersertifikat. Lahan di luar HGU yang dianggap tanah negara tanpa alas hak jelas, adalah ranah yang berbeda.

 

“Saya tanya kembali, apakah tanah Bapak/Ibu ngontrakin rumah, kalau belum ada sertifikat, itu boleh atau enggak? Anggap-anggapnya kan ke situ aja.”

 

Angga Yuda Prawira menekankan pentingnya duduk bersama seluruh stakeholder, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pemerintah Daerah, untuk menyamakan persepsi terhadap kondisi lahan di luar HGU yang sudah terlanjur dimanfaatkan dan menghasilkan bagi hasil bagi desa.

 

“Kalaupun ada persepsi ini tidak ilegal, kita bikin ilegal. Karena kenapa? Karena ini adalah masalah ekonomi anti desa secara general,” pintanya.

 

Ia juga menegaskan bahwa soal boleh atau tidaknya perusahaan melakukan pengusahaan di luar HGU adalah bukan kewenangan BPN, melainkan mungkin terkait perizinan dari dinas pertanian atau perizinan lainnya. (Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar