Bukan Fiktif, Kuasa Hukum Terdakwa Korupsi PGN-Isar Gas: Transaksi Jual-Beli Gas Murni Bisnis

JAKARTA, PERKARANEWS.COM — Persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait kerja sama jual-beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Inti Alasindo Energy (IAE)/Isar Gas kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (3/11/2025). Sidang dengan nomor perkara 86/Pid.Sus-TPK/2025 tersebut menghadirkan saksi utama Sofyian, yang menjabat di Isar Gas sejak 2017 hingga 2023.

 

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto, SH, MH, turut hadir pula Kuasa Hukum terdakwa Danny Praditya, yakni FX L. Michael Shah, SH, yang memberikan klarifikasi penting terkait keabsahan perjanjian jual-beli gas (PJBG) antara PGN dan Isar Gas.

 

Bacaan Lainnya

Diketahui, kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan dalam mekanisme pembayaran uang muka (advance payment) sebesar USD 15 juta yang diberikan PGN kepada Isar Gas dalam rangka kerja sama jual-beli gas. Jaksa menilai, pembayaran tersebut menyalahi prinsip keuangan korporasi dan berpotensi merugikan negara.

 

Para terdakwa dalam perkara ini adalah Iswan Ibrahim, Komisaris PT IAE periode 2006–2023, dan Danny Praditya, Direktur Komersial PGN periode 2016–2019. Keduanya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Saksi Sophian yang hadir bersama empat saksi lainnya,  menjelaskan secara rinci proses pembahasan hingga pelaksanaan kerja sama antara PGN dan IG. Ia menyebut terdapat lima kali rapat pembahasan, namun dirinya hanya mengikuti tiga kali rapat, yaitu pada 5 September, 14 September, dan 5 Oktober 2018.

 

“Yang saya ingat, saya ikut tiga meeting. Nilai 90 sampai 100 juta dolar itu bukan valuasi, tapi nilai penawaran dari calon investor,” ujar Sofyan di hadapan majelis hakim.

 

Saksi menyebut nilai kontrak kerja sama mencapai USD 228 juta dengan masa kerja enam tahun. Sedangkan advance payment sebesar USD 15 juta dicatat sebagai kewajiban IG dalam pembukuan dan menjadi jaminan agar PGN tetap mengambil gas sesuai perjanjian.

 

“Advance payment sebesar lima belas juta dolar itu masih tercatat sebagai kewajiban Isar Gas, kurang dari sepuluh persen dari total nilai kontrak,” katanya.

 

Sophian juga menjelaskan bahwa sejak Desember 2018 hingga 2019, PGN sudah mulai menyalurkan gas  dari jaringan milik IG. Namun, kontrak kemudian diputus secara sepihak oleh PGN pada Januari 2021, dengan alasan adanya larangan penjualan bertingkat dari Kementerian ESDM.

 

“Kalau PGN mengeksekusi fidusia, habislah pendapatan kami, karena pipa itu sumber pendapatan Isar Gas,” tambahnya.

 

Ia mengakui bahwa pihak IG telah beberapa kali mengirim surat somasi dan klarifikasi kepada PGN pada periode 2021–2023, namun tidak pernah mendapat tanggapan resmi.

 

Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyoroti adanya perbedaan antara nilai keuntungan yang disepakati dalam perjanjian awal dengan realisasi yang terjadi di lapangan.

 

Jaksa juga mempertanyakan istilah “pengembalian uang muka” yang digunakan IG, yang menurutnya tidak lazim dalam praktik bisnis korporasi.

 

“Kenapa tidak langsung dipotong dari pembayaran bulan Januari, tapi malah disebut sebagai pengembalian uang muka?” tanya JPU.

 

Menanggapi seluruh rangkaian persidangan, Kuasa Hukum terdakwa Danny Praditya, FX L. Michael Shah, SH, menegaskan bahwa kasus ini merupakan transaksi bisnis murni, bukan perbuatan fiktif sebagaimana diberitakan.

 

“Para saksi juga sudah mengonfirmasi itu benar. Artinya, ada gas yang dipunyai oleh IAE dan hendak dibeli oleh PGN,” tegas Michael.

 

Menurutnya, seluruh tahapan perjanjian jual-beli gas telah sesuai prosedur dan melalui pendampingan hukum yang sah.

 

“Kalau dari berita-berita sebelumnya diframing bahwa ini fiktif, sebenarnya nggak ada fiktifnya. Gas benar mengalir dari 2019,” ujarnya.

 

Michael juga menambahkan bahwa PGN melibatkan kantor hukum eksternal UMBRA dalam penyusunan dan pengawasan kontrak, sehingga seluruh aspek kepatuhan dan legalitas telah diperiksa secara menyeluruh.

 

“PGN ini dalam mengawal transaksi menunjuk bukan hanya divisi legal internal, tapi juga eksternal, dari UMBRA. Dari UMBRA juga menyatakan bahwa ini pure keputusan bisnis,” jelasnya.

 

Terkait pemberian advance payment senilai USD 15 juta, Michael menegaskan bahwa hal itu bukan penyimpangan, melainkan mekanisme pembayaran yang lazim dalam dunia bisnis energi.

 

“Advance payment itu diberikan sebagai bagian dari keputusan bisnis. Tidak ada peraturan yang dilanggar, baik internal PGN maupun eksternal,” pungkasnya. (Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *