PANGKALPINANG,PERKARANEWS.COM– Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selama ini dikenal sebagai “surga pertambangan timah”, sebuah label yang secara harfiah menggambarkan kekayaan mineralnya. Namun, di balik dominasi timah yang mengkilap, tersembunyi sebuah paradoks ekonomi yang memprihatinkan harta karun mineral ikutan yang tak kalah berharga, namun sumbangan royaltinya ke kas daerah justru dipertanyakan. Senin,(16/6)
Logam tanah jarang, zirkon, ilmenit, monazit, dan berbagai mineral lainnya banyak terkandung dalam sisa hasil produksi pasir timah. Komoditas ini memiliki nilai jual fantastis di pasar global dan menjadi rebutan industri teknologi tinggi. Namun, kekayaan ini justru menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kontribusi pajak royalti terhadap pendapatan daerah tidak berjalan optimal?
Ironisnya, di tengah minimnya pendapatan daerah Bangka Belitung, sorotan tajam justru diarahkan kepada pihak-pihak yang disebut sebagai “pemain terbesar” dalam pengumpulan bahan mineral ikutan ini.
Para pengelola dan penimbun hasil pengelolaan timah di Bangka Belitung diketahui mengumpulkan sisa pasir timah yang kaya akan mineral-mineral tersebut.
“Para pemain terbesar ngumpulin bahan, terus pajaknya dibayar enggak?,” ujar seorang sumber yang enggan disebutkan namanya, membandingkan dengan kewajiban pajak yang dipenuhinya.
Pernyataan ini mempertegas dugaan adanya ketidakseimbangan antara keuntungan fantastis yang diraup dengan kewajiban pajak yang dipenuhi. Meskipun berpotensi mendatangkan keuntungan besar, keraguan besar muncul, apakah perusahaan atau individu yang mengelola dan menimbun mineral ikutan ini telah menyetor atau melaporkan seluruh hasil pendapatan mereka kepada pemerintah daerah?
Pertanyaan krusial ini perlu dijawab tuntas.Jika terbukti tidak ada pembayaran pajak royalti dari pengolahan dan penimbunan mineral ikutan ini, maka jelas hal tersebut merugikan Bangka Belitung yang pendapatan daerahnya masih minim. Beberapa pihak yang disorot konon memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan menampung bahan baku mineral ikutan. Namun, pertanyaan mendasar tetap sama, apakah mereka benar-benar membayar pajak royalti sesuai dengan keuntungan yang didapatkan? Inilah inti dari paradoks yang terjadi.
Pemerintah daerah, khususnya dinas terkait dan instansi pajak, dituntut untuk segera melakukan audit dan penelusuran menyeluruh. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan mineral ikutan ini adalah kunci untuk memastikan bahwa kekayaan alam Bangka Belitung benar-benar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat dan pembangunan daerah.
Apakah penelusuran ini akan mengungkap potensi kebocoran pendapatan daerah yang selama ini tersembunyi? Kita tunggu saja perkembangannya.(Yuko)