PANGKALPINANG, PERKARANEWS.COM – Pengkhianatan. Kata ini tak asing dalam lembar sejarah bangsa, dan nampaknya akan terus berulang. Bahkan, Pahlawan Nasional Bangka Belitung, Depati Amir, pun tak luput dari tikaman duri pengkhianatan ini. Sejak tanggal 29 Desember 1850, hutan Mendobarat menjadi saksi bisu pengepungan Depati Amir oleh militer Belanda, barisan, dan para pengkhianat pemburu hadiah.
Puncaknya, pada 7 Januari 1851, Depati Amir berhasil dikejar dan ditangkap (opgejaagd gevangen, genomen) setelah dikhianati oleh bangsanya sendiri. Sebuah ironi pahit yang menggores hati. Terhadap para pengkhianat bangsa itu, mata Depati Amir menyala marah. Pandangannya, tajam dan penuh makna, menatap lekat, seolah ingin menyampaikan pesan abadi.
Sebuah pandangan yang lebih berharga daripada Seribu Ringgit Spanyol (zijne blik allen maakt nog dieven indruk; die blik is meer ward dan 1000 sp.matten), demikian catatan sejarah menggambarkan.
Dato’ Akhmad Elvian, DPMP (Sejarawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia) menafsirkan pesan pandangan mata Depati Amir yang penuh makna ini untuk kita.
“Belajarlah dari pengalaman sejarah dan ikhlaslah berjuang untuk bangsa dan negara, serta berhati-hati terhadap pengkhianat dari lingkungan sendiri.”ungkapnya
Kisah pengkhianatan Depati Amir ini menjadi pengingat yang tak lekang oleh waktu. Ia mengajarkan kita betapa rapuhnya sebuah perjuangan jika benih-benih pengkhianatan tumbuh subur di antara barisan pejuang.
Pandangan mata Depati Amir, yang lebih berharga dari harta benda, adalah warisan moral yang tak ternilai. Sebuah peringatan agar kita senantiasa waspada, menjaga integritas, dan mengikis segala bentuk pengkhianatan demi tegaknya harkat dan martabat bangsa.(Yuko)