BANGKA,PERKARANEWS.COM – Nama Titi Puak dan Titi Medang mungkin asing bagi sebagian orang, namun bagi para penggiat sejarah Bangka Belitung, dua lokasi ini menyimpan kisah heroik perjuangan Depati Amir melawan kolonial Belanda. Tercatat dalam peta-peta kuno seperti “Kaart van Het Eiland Banka 1819” dan “Cempurak and De Rivier van Palembang 1821” karya Phillip Franz von Siebold, Titi Puak dan Titi Medang berada di wilayah Aikem Batin Jeroek, sebuah kawasan yang menjadi saksi bisu taktik gerilya sang pahlawan.
Menurut Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, sejarawan dan budayawan terkemuka penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, lokasi Titi Medang sangat strategis. Ia terletak di antara jalan setapak yang menghubungkan Menareh/Mendar Pangkal Menduk ke Pangkalpinang, melewati Sungai Titi Medang, Payabenua (Abayman), Petaling, Tuatunu, dan berakhir di Pangkalpinang.
Sementara itu, Titi Puak menghubungkan jalan setapak ke Kembadjat, Binkat, Ayer Darat, Titi Puak, Tuatunu, dan juga menuju Pangkalpinang. Jalur-jalur ini menunjukkan pentingnya kedua ‘titi’ sebagai akses penghubung di masa lampau.
“Titi” dalam bahasa Melayu Bangka berarti jembatan kecil yang terbuat dari batang kayu atau papan,”sebunya
Dato’ Akhmad Elvian menjelaskan, ‘titi’ juga bisa disebut Gertak, Gelogor, atau Jerambah. Namun, istilah ‘titi’ lebih spesifik untuk jembatan yang dibuat dari satu atau dua batang kayu.
Secara etimologis, Titi Medang berarti titian yang terbuat dari kayu Medang (Pygeum parviflorum), sementara Titi Puak merujuk pada titian yang terbuat dari kayu yang dikelompokkan (dipuak). Titi-titi ini biasanya dibangun di atas ‘aik’ (sungai kecil), anak sungai, atau di daerah rawa-rawa atau ‘Lelap’.
Fungsi utama ‘titi’ adalah sebagai penyeberangan saat air sungai kering atau menipis. Namun, saat hujan deras, ‘titi’ seringkali terendam air dan tidak terlihat, sehingga sulit dilalui. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh Depati Amir dan pasukannya.
Seperti yang ditulis dalam buku “Perang Bangka Satu atau Dua Titi Medang 1848-1851” karya Akhmad Elvian, Depati Amir dan pasukannya kerap mencari persembunyian di dekat rawa-rawa atau ‘Lelap’. Taktik ini memungkinkan mereka untuk menghindari kepungan musuh dengan melewati ‘titi-titi’ yang sengaja dibuat di atas rawa-rawa tersebut, terutama saat musim hujan ketika ‘titi’ tersembunyi di bawah permukaan air.
Salah satu momen paling dramatis terjadi pada 27 Desember 1850. Depati Amir beserta pasukannya dikepung dan disergap oleh pasukan Belanda yang dipimpin Lettu Dekker di wilayah Titi Puak dan Titi Medang. Namun, berkat pemahaman mendalam mereka tentang medan dan penggunaan ‘titi’ yang cerdik, Depati Amir berhasil lolos dari kepungan dan penyergapan tersebut.
Kisah Titi Puak dan Titi Medang ini bukan hanya sekadar catatan geografis, melainkan juga simbol kecerdikan dan ketangguhan Depati Amir dalam menghadapi gempuran kolonial. Apakah Anda tertarik untuk menelusuri lebih jauh lokasi-lokasi bersejarah lainnya di Bangka Belitung?.(Yuko)