Ketua PWNU Babel : Moderasi, Karakter Luhur Agama

PANGKALPINANG,PERKARANEWS — Moderasi beragama bukanlah hal yang baru dalam tradisi keagamaan. Bahkan konsep tersebut telah ada sejak zaman Rasulullah. Moderasi telah menjadi sesuatu yang inheren dalam spirit, misi, dan karakter luhur agama.

Selain itu moderasi sejatinya ditujukan bukan untuk mendisorientasi atau mendistorsi muatan maupun nilai-nilai fitrati dari agama atau yang lain. Sebaliknya moderasi hadir untuk menguatkan, mengentalkan, dan mendistribusikan semangat humanistika berbasis religiusitas (spiritualitas).

Demikian dipaparkan Dr. H. Masmuni Mahatma, S.Fil., M.Ag., Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam materinya saat menjadi Narasumber pada kegiatan Orientasi Penguatan Moderasi Beragama yang digelar Kantor Kementerian Agama Kota Pangkalpinang di Grand Safran Hotel pada Selasa (21/5/2024).

Bacaan Lainnya

“Agama itu hadir untuk kebajikan, kemaslahatan, kemakmuran, dan kedamaian hidup makhluk Tuhan terutama sekali manusia. Dan moderasi beragama hadir sebagai bentuk cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan mengejawentahkan esensi ajaran (luhur) agama,” jelasnya.

Dihadapan 50 orang peserta yang merupakan perwakilan dari tokoh agama, masyarakat, dan ormas keagamaan lintas agama tersebut, Masmuni mengatakan bahwa moderasi beragama bertujuan untuk melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan senantiasa menaati konstitusi berbangsa dan bernegara. Dengan memadukan spirit agama dan negara-bangsa, dalam kerangka produktivitas-kolektivitas bermasyarakat.

“Indikasi moderatisme dalam moderasi beragama dengan memegang komitmen kebangsaan yakni menerima prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi, anti kekerasan dengan tidak terjebak dan menjebakkan diri atau melibatkan sengaja dalam perilaku dan tindakan kekerasan baik secara individual, komunal, baik fisik, psikis, verbal, demi kemaslahatan sosial bernegara,” paparnya.

Beliau mengajak para peserta untuk menciptakan toleransi dengan saling menghargai, menghormati dan memberi ruang simpatik-produktif bagi orang lain dalam berkeyakinan, saling menjunjung tinggi kesetaraan dan kolektivitas. Mengarifi tradisi dengan menerima dan mengedepankan kearifan dalam dinamika tradisi dan budaya lokal, baik dalam konteks sosiologis, religius, humanis, dan tidak mencederai nilai-nilai luhur.(Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *