Jangan Memilih Golput

Caption; Emmi Rianti, Penyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Kota Pangkalpinang

Oleh; Emmi Rianti, Penyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Kota Pangkalpinang

PANGKALPINANG,PERKARANEWS – Pemilihan Umum (Pemilu) sudah di depan mata. Kampanye pun telah dimulai. Para Caleg (Calon Legislatif) dan Paslon (Pasangan Calon Presiden dan Wakil), telah mulai berkampanye dalam bentuk baliho, spanduk, poster dan lain- lain. Atribut- atribut tersebut telah terpasang di tempat- tempat yang strategis. Perang iklan bertebaran di media sosial, media elektronik dan media massa. Masing – masing calon berebut simpati mengkampanyekan visi misi dalam pertemuan- pertemuan, dialog- dialog, atau kampanye terbuka di lapangan untuk meraih suara peserta Pemilu.

Ya, pesta demokrasi lima tahunan rakyat Indonesia memang akan segera digelar. Bila tak ada aral melintang sebagaimana jadual yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang pemungutan suara akan berlangsung secara serentak di seluruh wilayah Nusantara.

Bagi sebagian (besar) rakyat Indonesia Pemilu merupakan moment yang dinantikan. Bisa memberikan suara secara langsung untuk calon yang dipilih merupakan pengalaman yang membanggakan sekaligus membahagiakan. Begitu pula bagi partai politik, para caleg dan paslon presiden dan wakilnya, pengalaman tersebut merupakan peristiwa bersejarah yang mendebarkan karena dilalui dalam proses yang panjang dan dalam kompetisi berkualitas yang bermakna!.

Bacaan Lainnya

Namun demikian, masih banyak dari saudara- saudara kita yang enggan menggunakan hak pilihnya dan lebih memilih Golput. Golput (Golongan Putih) merupakan istilah yang dipakai oleh mereka yang memilih untuk tidak memberikan hak suaranya saat pencoblosan. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah golput pada tahun 2014 sebanyak 58, 61 juta atau sebesar 30, 22 persen dari total jumlah pemilih. Pada tahun 2019 jumlah golput sebanyak 34,75 juta atau sebesar 18,02 persen. Sedang pada tahun 2024 mendatang jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) berdasarkan data KPU sebanyak 204.807.222 pemilih. Sayangnya berdasarkan Hasil Survey Centre For Strategic and Internasional Indonesia (CSSIS) sebanyak 11, 8 persen memilih golput.

Meski dari tahun ke tahun jumlah golput mengalami penurunan tetapi jumlah tersebut masih cukup banyak. Oleh karena itu perlu adanya pencerahan bagi mereka yang memilih golput untuk merubah keputusannya agar suaranya tidak sia- sia. Sosialisasi hendaknya terus dilakukan baik oleh para pengemban tugas seperti KPU dan BAWASLU berserta seluruh unsur yang telah ditunjuk, termasuk setiap individu kita agar bisa membantu para petugas tersebut di ruang lingkup masing- masing sesuai kapasitas dan kompetensi yang dimiliki.

Penyebab Golput

Ada beberapa faktor mengapa seseorang memilih golput diantaranya,

– Tidak terfasilitasi bagi penyandang disabilitas, dan para lansia yang tinggal sendiri tanpa keluarga

Seperti tidak ada mobilitas atau bantuan menuju lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Maka ini perlu perhatian bagaimana caranya agar saudara kita tersebut mendapatkan pelayanan dan pendampingan, sehingga mereka bisa menggunakan hak pilihnya dengan aman dan nyaman.

– Tidak memiliki pengetahuan tentang pentingnya memilih pemimpin bagi keberlangsungan sebuah negara

Sebuah wilayah bisa disebut negara kalau ia memiliki pemimpin, rakyat, sistem pemerintahan dan unsur- unsur yang terkait dengannya. Memiliki pemimpin merupakan keharusan bagi sebuah negara agar roda pemerintahan terus berjalan dan kedamaian bisa diperoleh.

Namun demikian memilih pemimpin nyatanya tak semudah membalik telapak tangan. Ada kriteria- kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Undang- undang yang berlaku secara universal. Namun di samping kriteria yang ditetapkan oleh Undang-undang, masyarakat secara individu pun ternyata memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan pilihannya. Kriteria subjektif inilah yang tidak dimiliki oleh setiap calon untuk bisa dipilih.

Karena itu penting bagi kita untuk terus memberikan pengertian kepada kelompok-kelompok “idealisme” tersebut agar merubah pola berpikir ke arah berpikir objektif.

– Sikap apatis terhadap negara

Sikap apatis masyarakat terhadap politik menjadi salah satu faktor tingginya angka golput dalam setiap pemilu.

Sikap ini timbul dikarenakan tidak ada dampak positif yang mereka rasakan usai pemilu. Setelah pemilu berlalu, pejabat dilantik, pemerintahan berjalan, namun tidak ada yang berubah dalam roda kehidupannya. Ia merasa masih harus berjuang keras untuk mencari rezeki, lapangan pekerjaan yang diharapkan tak kunjung didapat, harga-harga kebutuhan pokok malah kian melonjak dan upah pekerjapun tak kunjung naik.

Sikap apatis lainnya terjadi disebabkan perubahan sikap para anggota legislatif yang telah ia pilih, dari yang sebelum terpilih senantiasa bersikap ramah, baik dan perhatian. Namun setelah terpilih dan duduk menjadi wakil rakyat berubah menjadi dingin, cuek bahkan sombong. Sehingga menimbulkan rasa kecewa di hati masyarakat. Sebagian masyarakat bahkan, menganggap pemilu bukan sesuatu yang penting!…

Apa pun alasannya, golput bukanlah pilihan yang tepat. Memilih, memang merupakan hak individu. Tidak menggunakan hak tersebut dalam pemilu memang tak memunculkan konsekuensi hukum. Namun menggunakan hak pilih dalam pemilu menunjukkan indikator akan perdulinya seseorang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta sebagai sarana pembelajaran politik. Andaipun pada akhirnya hasil pilihan kita tak sesuai dengan harapan, setidaknya kita telah membuktikan diri berkontribusi dalam menjalankan demokrasi di bumi pertiwi.

Dengan menggunakan hak pilih diharapkan akan memunculkan pemimpin yang berkualitas, amanah, serta mampu membawa kemajuan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Dan itu adalah kewajiban kita bersama!

Wallahu’a’lam bis-shawab…(Yuko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

39 Komentar