PANGKALPINANG,PERKARANEWS.COM– Pilkada ulang Kota Pangkalpinang yang seharusnya menjadi pesta demokrasi, kini diwarnai dengan ‘hujan peluru’ informasi hoaks dan kampanye hitam. Di tengah badai ini, peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dipertanyakan.
Sekretaris Aliansi Wartawan Muda Bangka Belitung (Awam Babel), Ahmad Wahyudi, menyentil Bawaslu yang dinilai minim aksi.
Menurut Wahyudi, Bawaslu seharusnya menjadi ‘benteng kokoh’ yang menjaga proses pemilu dari serangan-serangan keji di media sosial dan media daring.
Ia merujuk pada peran Bawaslu yang semestinya berfungsi secara preventif dan represif.
Secara preventif, Bawaslu punya tugas mengedukasi masyarakat agar ‘melek’ informasi dan tidak gampang termakan kampanye hitam. Mereka juga dituntut untuk menyosialisasikan pentingnya kampanye beretika dan menjalin kerja sama dengan pegiat media sosial.
Namun, Wahyudi mempertanyakan, “Apakah semua itu sudah berjalan maksimal? Mengingat banyaknya hoaks dan black campaign yang bertebaran di masyarakat, seolah-olah Bawaslu tidak terlihat di lapangan.”
Di sisi lain, peran represif Bawaslu juga menjadi sorotan. Bawaslu memiliki tugas mulia untuk mengawasi, menindak, dan bekerja sama dengan penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Akan tetapi, kenyataannya, banyak akun anonim yang bebas menyebarkan informasi menyesatkan tanpa ada tindakan hukum yang jelas. Hal ini membuat masyarakat enggan melapor karena merasa percuma.
‘Minimnya sumber daya’ dan ‘kecepatan kilat’ penyebaran hoaks di media sosial juga menjadi tantangan besar yang seharusnya sudah diantisipasi oleh Bawaslu.
Ibarat kapal yang dihantam badai, Bawaslu terlihat limbung menghadapi maraknya kampanye hitam. Keterbatasan personel, teknologi, dan masalah akun anonim menjadi alasan klasik.
Namun, bagi Wahyudi, tantangan ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk ‘diam’.
Wahyudi berharap Bawaslu bisa menunjukkan taringnya, tidak hanya sebagai lembaga formal, tetapi sebagai ‘penjaga gawang’ demokrasi yang adil dan bersih.
Tanpa aksi nyata, hoaks dan black campaign akan terus merajalela, merusak harmoni, dan pada akhirnya, mencederai kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu itu sendiri.(Red.01)