PANGKALPINANG, PERKARANEWS.COM – Mengarungi lorong waktu, kita dibawa ke sebuah peninggalan bersejarah di Tanjunglabuh, Pulau Lepar. Sebuah Roemah Demang Distrik Lepar Eilanden menjadi saksi bisu denyut kehidupan masa lalu. Dato’ Akhmad Elvian, sejarawan dan budayawan Bangka Belitung, yang tak kenal lelah merangkai mozaik sejarah, mengungkapkan kekhawatirannya akan kondisi rumah ini yang kini misterius keberadaannya.
Dua tahun silam, Dato’ Elvian masih sempat menyambangi rumah bersejarah ini. Namun, kini nasibnya bak ditelan bumi di Tanjunglabuh, sebuah nama yang dalam peta kuno dikenal sebagai Lepa, dan secara menarik, menjadi akar kata “lepa” dan “melepa” dalam bahasa Indonesia. Rumah ini bukan sekadar bangunan tua, melainkan sebuah gerbang menuju pemahaman mendalam tentang konsep kepulauan yang telah lama berakar di Nusantara.
Konsep Kepulauan Lepar (Lepar Eilanden), kata Dato’ Elvian, selaras betul dengan semangat Negara Kepulauan yang terukir gagah dalam Pasal 25A UUD 1945. Pasal ini adalah penjelmaan kedaulatan kita, menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Ini bukan omong kosong belaka, sebab sejak era Hindia Belanda, ide negeri kepulauan sudah diterapkan. Buktinya nyata, pada tahun 1855, Distrik Lepar Eilanden lahir, memisahkan diri dari Distrik Toboali, dan menjadikan Bangka memiliki sepuluh distrik.
Distrik Lepar Eilanden ini terbagi lagi menjadi dua onderdistric, yakni onderdistric Tanjoenglaboeh dan onderdistric Lepar Eilanden, dengan Tanjunglabuh sebagai ibu kotanya. Uniknya, berbeda dengan distrik lain di Pulau Bangka yang dipimpin oleh Controleur, Distrik Lepar Eilanden justru dikendalikan oleh seorang Posthouder. Menurut Regeeringalmanak voor Nederlandsch-Indie 1893, nama-nama seperti A.W.F. Gelome dan J.B. van Trotsenburg pernah menjabat sebagai Posthouder di Tanjunglabuh, didampingi oleh seorang Demang bernama Demang Lanang.
Tak hanya di masa kolonial, Pulau Lepar, yang juga dikenal sebagai Isle de Salt, telah mencuri perhatian sejak era Kesultanan Palembang Darussalam. Bahkan, di masa cultuurstelsel, pulau ini pernah menjadi area karantina penting untuk tanaman tebu yang terserang penyakit sereh. Konon, kepala Kepulauan Lepar yang sangat legendaris di masa kesultanan adalah Raden Ali, putra Raden Keling.
Sayangnya, kabar terbaru menyebutkan pulau ini kini telah berubah menjadi pulau sawit, sebuah transformasi yang memantik pertanyaan besar.
“Entah bagaimana konsep dan rencana aksi pengembangan pulau-pulau kita ke depan,” gumam Dato’ Elvian, merenungkan nasib pulau-pulau kecil. Ini adalah kerinduan yang mendalam, mengingat Provinsi ini lahir dengan nomenklatur Kepulauan Bangka Belitung.
Sebuah kebanggaan yang terucap “Sangat hebat negara kita ada kecamatan dan desa Kepulauan dalam kabupaten Kepulauan di Provinsi Kepulauan dalam negara Kepulauan dan Nusantara lagi.”tegasnya
Semoga, pulau-pulau kita, dengan segala potensi yang tersembunyi, dapat dikelola dengan bijak, menjadi ladang kesejahteraan yang melimpah bagi seluruh rakyat.(Yuko)