JAKARTA,PERKARANEWS.COM– Seorang warga bernama Winda Asriany telah secara resmi melaporkan tiga Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri (PN) Rantau ke Komisi Yudisial (KY) pada Selasa (24/6/2025).
Laporan ini didasarkan pada dugaan pelanggaran kode etik selama proses persidangan perkara perdata sengketa lahan. Majelis Hakim yang dilaporkan terdiri dari Ketua Majelis Hakim Achmad Iyud Nugraha, serta Hakim Anggota Dwi Army Okik Arissandi dan Fachrun Nurrisya Aini, didampingi Panitera Pengganti Mulyadi.
Winda dan suaminya, Jhon Akang Saragih, sebagai pemilik sah lahan seluas 7.409 meter persegi di Desa Margasari Hilir, Kecamatan Candi Laras Utara, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, digugat oleh PT Kharisma Alam Persada. Gugatan ini terdaftar dengan perkara Nomor 11/Pdt.G/2024/PN.Rta di PN Rantau sejak Oktober 2024. Menurut Winda, selama proses persidangan, ia menemukan sejumlah kejanggalan yang mencolok.
Salah satu kejanggalan adalah perubahan jadwal sidang tanpa pemberitahuan kepada pihak tergugat. Selain itu, Winda mengaku pihaknya tidak diberikan akses terhadap bukti dokumen asli dari pihak penggugat.
Winda mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Ketua Majelis Hakim.
“Sikap Ketua Majelis Hakim yang menyiratkan keberpihakan, Ketua majelis berulang kali bilang ‘kalau tidak puas, kan bisa banding atau kasasi’. Seolah kami sudah pasti kalah sebelum diputus. Ini merusak harapan kami atas keadilan,” kata Winda saat jumpa pers di Lobby Komisi Yudisial.
Lebih lanjut, Winda juga menyoroti ketidakterbukaan Berita Acara Sidang (BAS) yang tidak pernah diperlihatkan kepada pihaknya, meskipun sudah diminta secara resmi oleh kuasa hukum. “Majelis tidak mengizinkan kami melihat atau memeriksa bukti (dari) penggugat baik yang asli maupun fotocopy-nya, kami (tergugat) tidak diberi kesempatan,” ungkap Winda.
Winda menjelaskan bahwa tanah yang dibelinya sejak 2015 telah dibaliknamakan atas nama suaminya. Namun, selama sembilan tahun terakhir, lahan tersebut telah digunakan sepihak oleh PT Kharisma Alam Persada sebagai akses jalan bagi kendaraan pengangkut hasil sawit dan material pabrik. Tak hanya itu, seiring berjalannya waktu, pipa air sepanjang 7 KM juga ditanam di lahannya tanpa seizin dirinya, tanpa dokumen kerja sama, dan tanpa pembagian hasil apa pun kepada pemilik tanah.
“Awalnya sebagai keluar masuk kendaraan membawa sawit, lalu mereka menanam pipa air atas izin Kementerian PUPR di tanah saya sepanjang 7 km tanpa seizin saya. Jelas saya dirugikan. Tapi yang lebih menyakitkan, saat kami digugat malah kami merasa tidak mendapat perlakuan adil dari majelis hakim,” jelas Winda.
Winda juga membeberkan keberatannya terhadap substansi putusan PN Rantau yang menyatakan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Akta Jual Beli (AJB) yang dimilikinya tidak mengikat secara hukum. Ia menilai, putusan tersebut telah melampaui kewenangan pengadilan perdata.
“Keabsahan SHM seharusnya diputuskan oleh PTUN, bukan PN. Bahkan penggugat mendasarkan klaimnya hanya pada Surat Keterangan Keadaan Tanah (SKKT) yang tidak terdaftar di buku register desa. Kepala desa sendiri menyatakan SKKT itu tidak sah,” beber Winda.
Winda berharap agar KY dapat menindaklanjuti aduannya dan memberikan sanksi tegas kepada para hakim yang dinilainya tidak menjunjung keadilan dan kejujuran. Ia juga berharap agar hakim di tingkat kasasi dapat menilai perkara ini secara objektif berdasarkan bukti dan fakta hukum.
Bukti formal laporan ini telah diterima oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia pada Selasa, 24 Juni 2025, yang tercatat dalam Tanda Terima Penyerahan No. 0585/V/2025/P dengan paraf penerima atas nama Mulyadi & Rico. Hingga berita ini dipublikasikan, pihak terkait dalam upaya konfirmasi. (Yuko/Anton)