Banding Vonis 11 Tahun Lisa Rachmat. Pengacara Beberkan Kejanggalan, Uang Rp27 Miliar Disita Tanpa Keterkaitan?

JAKARTA,PERKARANEWA.COM – Vonis 11 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Rabu (18/6/2025) lalu terhadap pengacara Lisa Rachmat, tak berhenti di situ. Kejaksaan Agung Republik Indonesia (KejagungRI), melalui Kapuspenkum Harli Siregar, telah menyatakan banding atas putusan tersebut, sebagaimana dilansir detikNews pada Kamis (26/6/2025). Tak hanya terhadap Zarof Ricar, Lisa Rachmat juga masuk dalam daftar permohonan banding JPU.

Menanggapi langkah JPU, Andi Syariefudin selaku Kuasa Hukum Lisa Rachmat, angkat bicara. Ia mengungkapkan bahwa alasan utama JPU melakukan banding adalah terkait barang bukti berupa uang asing senilai kurang lebih Rp27 miliar (jika dirupiahkan) yang disita penyidik Kejagung dari suami, adik kandung, dan dompet milik Lisa Rachmat.

Menurut Andi, Majelis Hakim sependapat dengan Penasihat Hukum (PH) Lisa Rachmat bahwa barang bukti tersebut patut dikembalikan kepada terdakwa, sebab perbuatan yang didakwakan kepada Lisa Rachmat adalah sebagai pemberi suap, bukan penerima suap.

“Lisa adalah pemberi suap bukan penerima suap, artinya tentu uang yang yang dipergunakan oleh Lisa Rahmat sudah tidak ada pada Lisa Rahmat dan Keluarga Lisa Rahmat,” tegas Andi kepada redaksi ayodesa.com, Sabtu (28/6/2025).

Bacaan Lainnya

Andi menambahkan, Hakim juga meyakini bahwa uang suap dalam kasus pembebasan Ronald Tannur di PN Surabaya dan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar sudah diserahkan kepada majelis hakim. Hal ini, menurut Andi, memastikan bahwa uang yang disita sebesar Rp27 miliar tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan perkara yang didakwakan kepada Lisa Rachmat.

“Sehingga Majelis Hakim memutuskan bahwa uang yang disita tersebut harus dikembalikan kepada yang lebih berhak yaitu Suami Lisa Rahmat, Adik Kandung Lisa Rahmat, dan juga Lisa Rahmat,” lanjut Andi.

Andi Syariefudin menilai, alasan banding JPU tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menyoroti dakwaan JPU yang menuduh Lisa Rachmat menyuap tiga Hakim Pembebas Ronald Tannur di PN Surabaya sebesar kurang lebih Rp3 miliar, serta berbuat jahat bersama Zarof Ricar untuk menyuap Hakim Agung di MA atas kasasi Ronald Tannur.

“Kalau ditotal Lisa Rahmat dituduh atau didakwa menyuap hakim kurang lebih Rp8 M, seharusnya uang itulah yang harus disita oleh Penyidik Kejaksaan Agung sebagai barang bukti hasil kejahatan, bukan uang yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan Lisa Rahmat kemudian disita untuk dirampas oleh Negara,” tegasnya.

Andi melanjutkan, jika barang yang disita penyidik tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang diselidiki, dan penyidik tidak menemukan tindak pidana lain yang berhubungan dengan barang sitaan itu, maka penyidik seharusnya mengembalikan barang sitaan tersebut kepada pemilik yang sah.

“Bukan malah dibawa ke Pengadilan dijadikan barang bukti dan dimohonkan dirampas untuk Negara,” ujarnya.

Andi kembali menegaskan bahwa Lisa Rachmat juga telah menyatakan banding atas putusan Majelis Hakim yang memvonisnya 11 tahun penjara. Menurut Andi, putusan tersebut tidak memenuhi unsur Asas Kepastian Hukum, Asas Keadilan, dan Asas Kemanfaatan.
Ia membeberkan detail terkait “Asas Kepastian Hukum” yang, menurutnya, harus sesuai dengan fakta di persidangan dan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam persidangan kasus Lisa Rachmat di PN Jakarta Pusat, ditemukan beberapa fakta yang bertentangan dengan asas ini

Andi menyebutkan, kasus Lisa Rachmat bukan tangkap tangan seperti yang dipublikasikan di awal. Faktanya, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan dilakukan beberapa bulan setelah kejadian, tanpa didahului proses penyelidikan dan penyidikan yang sah atau sesuai KUHAP.

“Artinya proses hukum tersebut diawali dengan proses hukum yang tidak sah, terus Asas Kepastian Hukumnya dimana?” cetus Andi.

Semua saksi fakta yang dihadirkan JPU di persidangan, kata Andi, tidak ada satu pun yang melihat langsung, mendengar langsung, atau mengalami langsung peristiwa hukum yang dituduhkan kepada Lisa Rachmat. Hal serupa berlaku untuk alat bukti lainnya, seperti surat, saksi ahli, petunjuk, dan pengakuan.

“Dari kelima alat bukti tersebut tidak ada satupun alat bukti yang bisa menjelaskan peristiwa pidana yang dituduhkan kepada Lisa Rachmat, terkecuali pengakuan Erintua Damanik, pengakuan Erintua Damanik tersebut berdiri sendiri dan tidak didukung dengan alat bukti lain, sehingga tidak memenuhi kualitas sebagai alat bukti,” jelas Andi.

Barang bukti berupa uang hasil sitaan penyidik dari ketiga Majelis Hakim pembebas Gregorius Ronald Tannur di PN Surabaya, menurut Andi, tidak ada satu pun alat bukti yang menjelaskan bahwa uang tersebut bersumber dari Lisa Rachmat.

Terkait “Asas Keadilan”, Andi mempertanyakan disparitas hukuman antara Sdri. Mariska, ibu Ronald Tannur, yang didakwa sebagai pemberi uang kepada Lisa Rachmat untuk menyuap hakim (dituntut 4 tahun, divonis 3 tahun), dengan Lisa Rachmat sendiri yang divonis 11 tahun penjara.

“Bagaimana bisa dikatakan Adil, jika Sdri Mariska Ibu dari Ronal Tanur didakwa oleh JPU sebagai orang yang memberikan uang kepada Lisa Rahmat dengan tujuan untuk menyuruh menyuap hakim, tapi dituntut 4 tahun penjara oleh JPU dan divonis oleh majelis hakim 3 tahun penjara, sementara Lisa Rahmat adalah orang yang disuruh menyuap hakim dituntut oleh JPU 14 tahun penjara dan di Vonis oleh majelis hakim 11 tahun penjara, terus adilnya di mana?” tanyanya.

Adapun “Asas Kemanfaatan”, Andi berpendapat bahwa asas ini tidak mungkin ada jika Asas Kepastian Hukum dan Asas Keadilan tidak terpenuhi. Ia khawatir hal ini justru akan menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa aparat penegak hukum di Indonesia bermasalah, dengan slogan bahwa “Hukum itu tumpul ke atas dan tajam kebawah.”

“Kami selaku penasehat hukum berharap agar hakim pengadilan dan diatasnya, bisa bersikap lebih berani dalam mengambil keputusan yang lebih adil dan bijaksana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku yang bersesuaian dengan fakta hukum yang terungkap di pengadilan tingkat pertama, bukan keputusan dengan dasar kasusnya viral atau adanya tekanan dari pihak manapun,” pungkas Andi.(Yuko/Anton)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *